TRIBUNNEWS.COM - Jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat (AS), CQ Brown menyebut risiko perang yang lebih luas di Timur Tengah sudah sedikit mereda.
Meredanya situasi ini setelah Israel dan Hizbullah Lebanon saling serang tanpa eskalasi lebih lanjut.
Brown mencatat serangan Hizbullah hanyalah satu dari dua serangan besar yang mengancam Israel yang muncul dalam beberapa minggu terakhir.
Iran juga mengancam akan melakukan serangan atas terbunuhnya seorang pemimpin Hamas di Teheran bulan lalu.
Ketika ditanya apakah risiko langsung terjadinya perang regional telah menurun, Brown berkata: "Agak menurun, ya."
"Anda memiliki dua hal yang Anda tahu akan terjadi. Yang satu sudah terjadi. Sekarang tergantung pada bagaimana yang kedua akan terjadi," kata Brown, dikutip dari Reuters.
"Cara Iran merespons akan menentukan cara Israel merespons, yang akan menentukan apakah akan ada konflik yang lebih luas atau tidak," lanjutnya.
Masih Ada Risiko Besar
Meski begitu, Brown mengatakan masih ada risiko yang besar yang ditimbulkan oleh sekutu militan Iran, seperti Irak, Suriah, dan Yordania yang telah menyerang pasukan AS.
Serta Houthi Yaman yang telah menargetkan pengiriman Laut Merah dan bahkan menembakkan pesawat tak berawak ke Israel.
"Dan apakah kelompok lain benar-benar pergi dan melakukan hal-hal sendiri karena mereka tidak puas - khususnya kelompok Houthi," kata Brown.
Baca juga: Diam-diam AS Membantu Israel dengan Intelijen-nya, dalam Serangan Udara Terhadap Hizbullah
Senada dengan Brown, Penasihat Komunikasi Keamanan Nasional AS, John Kirby menyebut Israel masih berada di bawah ancaman dari Iran dan kelompok proksinya.
"Kita harus berasumsi bahwa Iran tetap bersikap dan siap," kata Kirby, dikutip dari The Jerusalem Post.
Oleh karena itu, AS mempertahankan kehadiran militer yang “kuat” di kawasan tersebut, katanya, seraya menambahkan bahwa ini adalah situasi yang tidak dianggap enteng oleh AS.
"Ini situasi yang dinamis, dan kita harus menghadapinya seperti itu," ucap Kirby.
Pentagon juga mengatakan yakin Israel masih terancam oleh Iran dan proksinya.
"Saya akan menunjukkan beberapa komentar publik yang telah disampaikan oleh para pemimpin Iran dan pihak lain."
"Kami terus menilai adanya ancaman serangan," kata juru bicara Pentagon, Mayjen Angkatan Udara AS, Patrick Ryder.
Ingin Tetap Menyerang, tapi Hormati Kesepakatan Gencatan Senjata
Baca juga: Hamas Tolak Syarat Baru Israel dalam Perundingan Gencatan Senjata di Gaza
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani mengabaikan keberhasilan serangan IDF pada hari Minggu.
Kanaani menjelaskan bahwa Israel telah kehilangan kekuatannya untuk mencegah dan bahwa keseimbangan strategis di kawasan telah bergeser merugikannya, menyusul serangan oleh Hizbullah.
"Meskipun mendapat dukungan menyeluruh dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Israel tidak dapat memprediksi waktu dan tempat respons terbatas dan terkendali oleh perlawanan. Israel telah kehilangan kekuatan pencegahannya," kata Kanaani.
Kanaani menambahkan bahwa Israel "sekarang harus mempertahankan diri di wilayah pendudukannya" dan bahwa "keseimbangan strategis telah mengalami perubahan mendasar" yang merugikan Israel.
Sementara itu, Menlu Iran, Abbas Araqchi menekankan bahwa Republik Islam memiliki hak untuk membalas Israel atas pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh di Teheran.
Baca juga: Misi Hizbullah Tercapai Saat Ini, Hassan Nasrallah Sebut Klaim Israel Sebagai Narasi Hollywood
Republik Islam menyalahkan Israel atas pembunuhan tersebut, meskipun Israel tidak mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu.
"Iran tidak ingin meningkatkan ketegangan. Namun, Iran tidak takut akan hal itu," kata Araqchi.
Araqchi mengatakan bahwa tanggapan Iran akan “pasti, penuh perhitungan dan akurat,” menurut pernyataan tersebut.
Ia kemudian mengatakan kepada Perdana Menteri Qatar, Mohammed Al Thani, bahwa Iran akan menghormati kesepakatan gencatan senjata Gaza, selama didukung oleh Hamas.
(Tribunnews.com/Whiesa)