Uni Eropa Incar Dua Menteri Ekstremis Israel, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir Dibidik Sanksi
TRIBUNNEWS.COM - Uni Eropa dilaporkan berencana menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah menteri kabinet pemerintahan Israel yang dipimpin Benjamin Netanyahu.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell mengumumkan pada Kamis (29/8/2024) kalau dia telah memulai proses untuk bertanya kepada negara-negara anggota UE apakah mereka ingin menjatuhkan sanksi terhadap “beberapa menteri Israel”.
Wacana pemberian sanksi ini, khususnya menyasar sejumlah menteri Israel dari kelompok ekstrem kanan yang menyerukan hasutan kejahatan perang bagi IDF dalam operasinya di Gaza dan Tepi Barat.
Baca juga: Tepi Barat Jadi Gaza Part 2, IDF Ultimatum Warga Tulkarm untuk Pergi dalam 4 Jam, Mau Serbu RS Jenin
Borrell mengatakan itu dalam pernyataannya kepada wartawan sebelum pertemuan dengan para menteri luar negeri Uni Eropa di Brussels.
“Saya memulai prosedur untuk bertanya kepada negara-negara anggota apakah mereka yakin pantas untuk memasukkan ke dalam daftar sanksi kami beberapa menteri Israel yang mengirimkan pesan kebencian yang tidak dapat diterima terhadap Palestina dan mengemukakan gagasan-gagasan yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Internasional," kata Borrell.
Borrell, dalam sebuah postingan di platform X, pada 12 Agustus, menyerukan penerapan sanksi terhadap tokoh ekstremis macam Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir.
Borrell mengatakan dalam postingannya: “Ketika dunia mendesak gencatan senjata di Gaza, Ben Gvir menyerukan penghentian bahan bakar dan bantuan kepada warga sipil.”
Dia menambahkan: "Seperti halnya pernyataan Menteri Keuangan Israel Smotrich, ini merupakan hasutan untuk melakukan kejahatan perang, dan sanksi harus menjadi agenda utama Uni Eropa."
AS Beri Sanksi Baru ke Pemukim Yahudi Israel
Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru terhadap pemukim Israel di Tepi Barat atas kekerasan terhadap warga Palestina, Rabu (28/8/2024).
Mengutip France24, sanksi ini diumumkan pada hari yang sama ketika Israel melancarkan serangan berskala besar di Tepi Barat.
9 pejuang Palestina tewas karena serangan itu.
"Kekerasan pemukim ekstremis di Tepi Barat menyebabkan penderitaan manusia yang parah, membahayakan keamanan Israel, dan merusak prospek perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller dalam sebuah pernyataan.
"Sangat penting bagi pemerintah Israel untuk meminta pertanggungjawaban setiap individu dan entitas yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap warga sipil di Tepi Barat," katanya.
Sanksi terbaru ini menargetkan Hashomer Yosh, sebuah kelompok Israel yang mendukung pemukiman ilegal Meitarim Farm di selatan Hebron Hills.
Awal tahun ini, relawan dari kelompok tersebut memagari sebuah desa dan mengusir 250 penduduk Palestina dari rumah mereka, kata Departemen Luar Negeri.
Permukiman Israel di Tepi Barat adalah ilegal menurut hukum internasional.
Selain Hashomer Yosh, Departemen Luar Negeri AS juga menjatuhkan sanksi terhadap Yitzhak Levi Filant, pria Israel yang diduga memimpin pemukim bersenjata untuk mendirikan blokade jalan dan patroli dengan tujuan menyerang warga Palestina.
Sejak perang Israel-Hamas di Gaza meletus pada 7 Oktober 2023, Israel telah meningkatkan serangannya di Tepi Barat.
Tepi Barat adalah wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak 1967.
Wilayah ini secara geografis terpisah dari Jalur Gaza.
Baca juga: AS Beri Sanksi Hashomer Yosh, Organisasi Israel dan Pejabat Israel, Terkait Kekerasan di Tepi Barat
Setidaknya 640 warga Palestina telah tewas di Tepi Barat sejak dimulainya perang Gaza, menurut hitungan AFP berdasarkan angka resmi Palestina.
Pemerintahan AS Joe Biden telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran kepada PM Israel Netanyahu tentang kekerasan pemukim dan tentang perluasan permukiman.
Tetapi tidak banyak aksi nyata yang dilakukan AS.
Bulan lalu, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi kepada Lehava, sebuah kelompok yang beranggotakan lebih dari 10.000 orang.
Departemen Luar Negeri AS menyebut Lehava sebagai organisasi ekstremis brutal terbesar di Israel.
Sanksi yang dijatuhkan AS pada umumnya seputar pemblokiran kelompok atau individu terhadap akses sistem keuangan AS.
Pemblokiran itu berujung pembatasan dari bank-bank Israel karena takut terkena dampaknya.
Meski begitu, AS hanya menjatuhkan sanksi pada individu atau organisasi kecil, bukan menjatuhkan sanksi kepada menteri pemerintah yang memimpin kebijakan seputar pemukiman.
Israel Lancarkan Serangan Terbesar di Tepi Barat sejak Intifada Kedua
Militer Israel saat ini tengah melaksanakan operasi besar-besaran di Tepi Barat, Rabu (28/8/2024).
Sumber-sumber militer mengatakan kepada Times of Israel, bahwa serangan itu diperkirakan akan berlangsung beberapa hari.
Channel 12 Israel mengatakan empat batalyon terlibat dalam serangan itu, termasuk pasukan darat dan angkatan udara.
Sementara itu, lembaga penyiaran publik Kan News melaporkan bahwa serangan itu adalah yang terbesar yang dilakukan oleh militer Israel sejak serangan "Perisai Pertahanan" tahun 2002 pada puncak Intifada Kedua.
Tak lama setelah serangan dimulai, Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, menyerukan evakuasi sementara terhadap warga Palestina dari beberapa wilayah Tepi Barat yang diduduki.
Katz mengatakan, militer bekerja secara intensif di kamp-kamp pengungsi di Jenin dan Tulkarm untuk menggagalkan infrastruktur Iran yang ia klaim ada di sana.
Baca juga: Israel Anggap Tepi Barat Ancaman, Operasi Militer Besar di Sana Dimulai, Akan Dibuat Seperti Gaza?
Sementara itu, kelompok bersenjata Palestina di kota-kota yang menjadi sasaran, termasuk cabang lokal Hamas, Jihad Islam, dan Fatah, mengatakan anggota mereka berhadapan dengan militer Israel.
Media berita Israel Hayom melaporkan pertempuran di kamp antara tentara Israel dan warga Palestina sebagai "pertempuran yang berat dan sulit."
Apa Itu Intifada?
Mengutip organisasi pendidikan pro-Palestina MAKAN, intifada adalah pemberontakan atau perlawanan massa terhadap pendudukan Israel.
Intifada Kedua, juga dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa, berlangsung dari 28 September 2000 hingga 8 Februari 2005.
Intifada Kedua dipicu kunjungan calon Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon ke Masjid Al-Aqsa, yang dianggap sebagai provokasi oleh banyak warga Palestina.
Intifada Kedua melibatkan kekerasan yang lebih besar dibandingkan dengan Intifada Pertama, dengan banyak bentrokan bersenjata dan serangan bom.
Sekitar 3.000 warga Palestina dan 1.000 warga Israel terbunuh antara September 2000 dan Februari 2005.
Sementara itu Intifada Pertama (1987-1993), juga dikenal sebagai "Intifada Batu", adalah pemberontakan yang dimulai pada akhir tahun 1987 dan berlangsung hingga ditandatanganinya Perjanjian Oslo pada tahun 1993.
Pemberontakan ini ditandai dengan protes massa, pemogokan, dan bentrokan antara warga Palestina dan pasukan Israel.