TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejak pembunuhan Israel terhadap Kepala Biro Politik Hamas Ismail Haniyeh di kota Teheran pada akhir Juli, spekulasi telah berkembang tentang bagaimana Iran akan membalas secara strategis.
Beberapa pejabat di Republik Islam telah bersumpah untuk memberikan tanggapan yang keras, mencapai jantung kekuasaan Israel, bahkan Pemimpin Tertinggi negara itu Ayatullah Ali Khamenei menyatakan, "Kami menganggap tugas kami untuk membalas darahnya."
Strategi Merebus katak: Perang yang melelahkan
Strategi ini merujuk pada cerita "legenda" yang mengatakan bahwa seekor katak yang ditempatkan di panci dangkal berisi air yang dipanaskan di atas kompor akan tetap bahagia.
Sang katak tetap merasa nyaman di dalam panci dan tidak menyadari air secara perlahan naik hingga titik mendidih.
Perubahan suhu satu demi satu derajat pada suatu waktu terjadi secara bertahap sehingga katak tidak menyadari bahwa ia sedang direbus, hingga semuanya terlambat.
Perumpamaan cerita ini sering digunakan oleh para ahli militer dan geopolitik untuk menggambarkan “permainan panjang” dalam mencapai tujuan strategis.
Seiring dengan perkembangan situasi, menjadi jelas bagi mereka yang tidak terbiasa dengan modus operandi Iran akan mengggap bahwa Teheran tidak berani melakukan serangan.
Sebaliknya, respons kolektif Poros Perlawanan di kawasan itu akan terukur dan strategis, dengan beberapa pejabat bahkan menyarankan respons Iran yang sangat tertunda.
Ali Mohammad Naini, juru bicara Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), mengatakan bulan lalu, "Waktu berpihak pada kita, dan masa tunggu untuk respons ini bisa lama."
Ali Bagheri Kani, yang saat itu menjabat sebagai penjabat menteri luar negeri, juga berpendapat bahwa Iran akan membalas pada "waktu yang tepat" dan dengan cara yang "tepat".
Menyusul serangan balasan Iran pada bulan April terhadap negara itu – sebagai respons atas serangan terhadap konsulatnya di Damaskus – Direktur Kampanye di LSM Avaaz, Fadi Quran, dalam sebuah posting di media sosial, menarik persamaan antara respons Iran dan kelas master strategi militer yang dihadirinya di Universitas Stanford.
Mirip dengan jet siluman AS hipotetis yang mengungkapkan kemampuannya, Quran mengatakan penggunaan senjata konvensional Iran pada bulan April memaksa Tel Aviv untuk mengekspos pertahanan antirudalnya, yang memberi Iran intelijen yang berharga untuk serangan di masa mendatang. Ia juga mencatat:
"Netanyahu dan pemerintah Israel lebih suka perang yang cepat, panas, dan mendesak di mana mereka dapat melibatkan Amerika. Iran lebih suka perang yang lebih lama yang menguras kemampuan pencegahan Israel dan menjadikannya sekutu bagi negara-negara Arab dan AS yang terlalu mahal untuk dimiliki," ujarnya sebagaimana dikutip dari Cradle.