TRIBUNNEWS.COM – Tepi Barat terancam menjadi “Gaza baru” setelah Israel melancarkan operasi militer di tanah Palestina itu.
Diplomat senior Uni Eropa, Josep Borrell, pada hari Selasa menyinggung meningkatnya kekerasan di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Angka kekerasan di sana melambung semenjak perang di Gaza meletus tanggal 7 Oktober 2023.
“Israel membuka front baru dengan tujuan yang jelas, yakni mengubah Tepi Barat menjadi Gaza baru, dengan meningkatkan kekerasan, delegitimasi Otoritas Palestina, dan memicu provokasi agar bereaksi dengan keras,” kata Borrell saat rapat Liga Arab di Kairo, Mesir, dikutip dari Middle East Eye.
Menurut Borrell, Israel terus berkata kepada dunia bahwa satu-satunya cara mencapai perdamaian ialah dengan mencaplok Tepi Barat dan Gaza.
Dia menuding kaum radikal dalam pemerintahan Israel berupaya mengagalkan pendirian negara Palestina pada masa mendatang.
Mengenai negara Palestina itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan beberapa anggota kabinet menganggapnya sebagai ancaman bagi Israel. Beberapa menteri Israel sudah mendesak operasi militer di Tepi Barat ditingkatkan.
“Jika tidak ada tindakan, Tepi Barat akan menjadi Gaza baru,” ujar Borrell.
Menurut Borrel, para pemukim Israel kini menyiapkan pemukiman baru di Tepi Barat.
Dia mengatakan masyarakat internasional mengecam Israel, tetapi susah untuk bertindak.
Kelompok HAM Israel bernama Yesh Din mengklaim jumlah serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat mencatatkan rekor baru tahun 2023.
Baca juga: Palestina Ajukan Resolusi PBB, Desak Israel Akhiri Pendudukan di Gaza dan Tepi Barat dalam 6 Bulan
Kemudian, Uni Eropa menyebut jumlah izin pemukiman yang dikeluarkan tahun 2023 adalah yang terbanyak dalam puluhan tahun terakhir.
Saat ini ada sekitar 490.000 pemukim Israel yang tinggal di pemukiman-pemukiman Tepi Barat. Padahal, pemukiman itu ilegal menurut hukum internasional.
Sementara itu, warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat berjumlah 3 juta. Mereka termasuk pengungsi Palestina yang terusir dari rumahnya ketika peristiwa Nakba tahun 1948 dan Perang Enam Hari tahun 1967.
Sejak perang Gaza meletus, Israel telah membunuh setidaknya 662 warga Palestina di Tepi Barat. Ratusan orang, termasuk wanita dan anak-anak, ditahan oleh pasukan Israel.
Tepi Barat terancam dicaplok Israel
Menteri Keamanan Israel Bezalel Smotrich mengungkapkan rencananya untuk mencaplok Tepi Barat sepenuhnya.
Bulan Juli kemarin Smotrich mengaku ingin membuat Tepi Barat menjadi “bagian tak terpisahkan dari negara Israel”.
Di samping itu, dia mengklaim tujuan hidupnya adalah mencegah pendirian negara Palestina.
Smotrich sudah meminta Netanyahu agar secara formal menganeksasi Tepi Barat.
Para pakar memperingatkan bahwa pemerintah Israel sudah mengambil langkah besar demi aneksasi itu.
Israel sudah mengalihkan kekuasaan dari Administrasi Sipil, otoritas militer di Tepi Barat, kepada para pejabat sipil yang merupakan bawahan Smotrich.
Baca juga: IDF Cari Alasan, Sebut Pasukan Israel Kemungkinan Tidak Sengaja Membunuh Aktivis AS di Tepi Barat
Langkah itu memberi Smotrich kekuasaan atas segala aspek kehidupan warga sipil di Tepi Barat, mulai dari pembuatan aturan pertanian, kehutanan, hingga lainnya.
Dengan langkah itu, Smotrich membuka jalan untuk pembangunan pemukiman baru dan pencaplokan tanah Palestina.
“Sistem politik Israel yang membiayai dan membangun pemukimn ilegal kini sedanga menghitung monster yang dibuatnya, mewujud dalam meningkatnya peruntungan sayap kanan fasisnya,” kata Abdaljawad, dosen filsafat dan kajian budaya di Universitas Birzeit, dikutip dari Anadolu Agency.
“Sayap kanan itu tak anya ingin mengambil sebagian besar tanah di Tepi Barat dalam jangka panjang dan mencaploknya, tetapi juga membersihkan Tepi Bara dari warga Palestina.”
Sementara itu, Muhammad Ayyash, analis kebijakan di lembaga Al-Shabaka, mengatakan semua tindakan Israel bertujuan untuk membuat warga Palestina tak bisa hidup di Tepi Barat sehingga mulai meninggalkannya.
“Akan ada lebih banyak pembatasan terhadap warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dalam hal pergerakan mereka, akses terhadap tanah mereka, dan kemampuan untuk membangun rumah baru, dan secara umum adalah kemampuan mereka untuk hidup secara pantas, merdeka, dan terhormat,” ujar Ayyash.
(Tribunnews/Febri)