TRIBUNNEWS.COM - Enam pekerja Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) dan beberapa orang lainnya tewas dalam serangan udara Israel di kompleks sekolah yang menampung ratusan warga Palestina.
Mengutip ABC News, berikut fakta-fakta insiden tersebut.
1. Kronologi
Pada Rabu (11/9/2024) sore waktu setempat, dua serangan Israel menghantam sebuah sekolah di kamp Nuseirat di Gaza tengah, kata Lembaga Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat atau UNRWA.
Serangan itu menghantam Sekolah Al-Jaouni yang dikelola UNRWA.
Sejak pecahnya perang, Sekolah Al-Jaouni digunakan sebagai tempat penampungan warga Palestina.
"Sekolah ini menampung sekitar 12.000 orang yang mengungsi, sebagian besar wanita dan anak-anak," kata lembaga tersebut.
Ini adalah kali kelima sekolah tersebut diserang dan mengakibatkan jumlah korban tewas terbesar bagi staf UNRWA dari satu insiden dalam sejarah lembaga tersebut.
PBB sebelumnya mengatakan bahwa lokasi tersebut sebelumnya tidak lagi menjadi lokasi konflik dengan pasukan Israel.
Pengungsi Gaza, Hani Haniyeh menggambarkan kekacauan yang terjadi.
"Bagian tubuh. Suara ledakan mengguncang gedung. Kami berlari keluar dan melihat bagian tubuh berserakan di mana-mana di tempat penampungan," katanya.
"Sayangnya, anak-anak saya hilang. Empat anak saya. Saya tidak tahu di mana mereka. Saya tidak tahu di mana putri-putri saya."
Baca juga: Serangan Israel Tewaskan 6 Staf UNRWA, Sekjen PBB: Apa yang Terjadi di Gaza Tak Dapat Diterima
"Bahkan istri saya tidur di sudut ini. Di mana istri saya? Saya tidak tahu. Saya tidak tahu di mana istri saya."
2. Korban Tewas
Sejauh ini, jumlah korban tewas dilaporkan mencapai 18 orang.
"Di antara mereka yang tewas adalah manajer tempat penampungan UNRWA dan anggota tim lainnya yang memberikan bantuan kepada para pengungsi," kata badan tersebut.
Kantor Pers Pemerintah Gaza melaporkan jumlah totalnya menjadi 18 orang.
Sementara pejabat dari rumah sakit Awda dan Al-Aqsa Martyrs mengatakan sedikitnya 14 orang tewas.
Media Arab Palestine Today berbicara kepada seorang ayah yang mengatakan putranya yang masih kecil, Obaida, tewas dalam serangan itu.
Orang-orang terlihat mengumpulkan potongan-potongan tubuh dalam kantong plastik.
Media lokal melaporkan sedikitnya 22 orang juga terluka.
Setidaknya 220 staf UNRWA telah tewas sejauh ini dalam konflik tersebut, menurut PBB.
"Sampai saat ini tercatat 464 insiden yang merusak 190 instalasi UNRWA, beberapa di antaranya terjadi beberapa kali," kata Direktur UNRWA di Washington, Bill Deer, kepada ABC News Channel.
"Akibatnya, hampir 600 warga sipil terlantar yang berlindung di sekolah atau fasilitas PBB di bawah bendera biru telah tewas, sementara 1.800 lainnya terluka."
Lebih dari 41.000 orang telah tewas di Gaza sejak 7 Oktober.
3. Tentang Sekolah Al-Jaouni
Sebelum perang, Sekolah Al-Jaouni adalah sekolah persiapan untuk anak laki-laki.
UNRWA mengelola sistem sekolah terbesar di Jalur Gaza.
Baca juga: Qatar dan UNRWA Tekan Perjanjian Bantuan Rp 69,5 M untuk Warga Gaza yang Terlantar di Tepi Barat
Sekolah tersebut diubah menjadi tempat penampungan darurat setelah perang dimulai.
Sekolah tersebut terletak di kamp Nuseirat di Gaza tengah, yang sebagiannya termasuk dalam wilayah kemanusiaan yang semakin menyusut.
"Di sinilah orang-orang benar-benar berlindung di bawah perlindungan — yah, semacam perlindungan, saya kira saat ini — bendera biru PBB," kata Deere.
"Kami menyediakan makanan semampu kami, obat-obatan, layanan sosial, seperti dukungan psikososial untuk anak-anak."
4. Alasan Israel Menyerang Sekolah
Tak lama setelah serangan itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menerbitkan pernyataan yang mengonfirmasi serangan udara tersebut.
IDF mengklaim serangan itu ditujukan pada militan yang beroperasi di dalam pusat komando dan kendali Hamas di wilayah Nuseirat di Gaza tengah, di dalam kompleks yang sebelumnya berfungsi sebagai Sekolah Al Jaouni.
Deere mengatakan IDF mengetahui lokasi GPS setiap fasilitas UNRWA, yang diperbarui setiap hari, dan semua pergerakan dikoordinasikan dengan mereka.
5. Reaksi PBB
PBB langsung mengutuk serangan itu.
Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini mengecam pembunuhan yang tak berujung dan tak berperikemanusiaan, hari demi hari.
"Staf, tempat, dan operasi kemanusiaan telah diabaikan secara terang-terangan dan terus-menerus sejak awal perang," tulisnya di X.
"Semakin lama impunitas berlaku, semakin tidak relevan hukum humaniter internasional dan Konvensi Jenewa."
Deere mengatakan hukum humaniter internasional jelas menyatakan bahwa korban sipil harus diminimalkan.
"Menghujani tempat perlindungan dengan ribuan orang di sana dengan serangan udara, menurut saya, sangat sulit untuk membenarkan hasilnya daripada niatnya."
Dalam unggahannya di X, UNRWA mengatakan:
Baca juga: Belgia Mengirimkan 511 Tenda ke Gaza, Diangkut dengan Pesawat Belgium Defence A400M
"Sungguh Tragis. Tidak ada yang aman di Gaza. Tidak ada yang selamat."
UNRWA menyerukan untuk melindungi infrastruktur sipil. "Mereka bukan target."
Sementara itu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengecam serangan itu.
"Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan kengerian dan hilangnya nyawa yang sebenarnya di Gaza," tulisnya di X, mengutip Al Jazeera.
"Rumah sakit, sekolah, dan tempat penampungan telah berulang kali dibombardir, yang mengakibatkan kematian warga sipil dan pekerja kemanusiaan."
6. Mengenal UNRWA
UNRWA adalah kependekan dari United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refuges in the Near East.
Didirikan pada tahun 1949, lembaga ini merupakan salah satu organisasi PBB tertua dan terbesar serta satu-satunya lembaga bantuan yang didedikasikan untuk kelompok orang tertentu.
Lembaga ini didanai terutama oleh donor internasional.
Banyak negara menghentikan donasi mereka menyusul tuduhan bahwa staf mereka ikut serta dalam serangan 7 Oktober sebelum kemudian memulainya kembali, kecuali Amerika Serikat.
Sebelum 7 Oktober, lembaga ini memiliki lebih dari 13.000 staf yang bekerja di lebih dari 300 instalasi di Jalur Gaza.
Lembaga ini memiliki ribuan staf lainnya di beberapa negara lain yang memiliki populasi pengungsi Palestina.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)