TRIBUNNEWS.com - Konflik antara Israel dan kelompok perlawanan di Lebanon, Hizbullah, terus meningkat.
Pada Minggu (22/9/2024) malam, mantan Brigadir Jenderal Angkatan Darat Israel, Amir Avivi, mengungkapkan serangan dahsyat terhadap sistem komunikasi Hizbullah, meningkatkan ketegangan di perbatasan.
Avivi juga memastikan perang antara Israel dan Lebanon bakal memanas.
Lalu, apa yang terjadi saat ini?
Banyak hal terjadi sejak serangan terhadap sistem komunikasi Hizbullah pada Selasa (17/9/2024) dan Rabu (18/9/2024) pekan lalu.
Dikutip dari Al Jazeera, serangan Israel terhadap pinggiran selatan Beirut pada Sabtu (21/9/2024), menewaskan 14 orang, termasuk seorang komandan senior Hizbullah, dan melukai 66 orang.
Militer Israel mengungkapkan pihaknya melancarkan 400 serangan terhadap Lebanon, Minggu malam.
Sementara, Hizbullah mengatakan pihaknya menargetkan pangkalan udara Ramat David dekat Kota Haifa, Israel, menggunakan roket.
Perlawanan Irak yang bersekutu dengan Iran, juga telah meluncurkan serangan ke Israel.
Mereka menyerang pangkalan Israel menggunakan rudal al-Arqab, namun tidak ada korban yang dilaporkan.
Mengapa terjadi sekarang?
Israel telah mengumumkan mereka mengalihkan perhatiannya ke utara, perbatasan Lebanon, untuk menghadapi Hizbullah.
Israel dan Hizbullah sebelumnya sudah terlibat saling serang sejak Tel Aviv menyerang Gaza pada 7 Oktober 2023.
Baca juga: Irak Luncurkan Serangan Terbesar ke Israel sejak 1991, Lancarkan 5 Operasi dalam Waktu 24 Jam
Selama seminggu terakhir, Hizbullah telah mengalami dua serangan pada sistem komunikasinya, yang kemudian dianggap sebagai ulah Israel.
Di sisi lain, Israel telah secara dramatis menambah jumlah pasukan di perbatasan dengan Lebanon.
Pada Rabu, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, berbicara mengenai "fase baru" dalam perang Gaza.
Ia mengumumkan pengerahan Divisi ke-98, yang memiliki 10.000-20.000 pasukan, untuk bergabung di perbatasan Israel utara.
Komentar Gallant dianggap mengindikasikan Israel lah yang bertanggung jawab atas dua serangan terhadap sistem komunikasi Hizbullah.
Antara tanggal 17 dan 18 September 2024, pager dan radio walkie-talkie milik Hizbullah meledak dan menewaskan 37 orang serta melukai 3.000 lainnya.
Dua alat komunikasi itu ditanam bahan peledak sebelum tiba di tangan Hizbullah.
Menurut analis, serangan tersebut telah memicu pembalasan Hizbullah.
Bagaimana ketegangan bisa meningkat?
Konflik antara Israel dan Hizbullah bisa menarik pihak lain untuk ikut serta dalam ketegangan dua negara itu.
Baca juga: Hizbullah Berduka, Komandan Militer Tertingginya, Ibrahim Aqil, Mati Syahid Diserang Israel
Hizbullah dan Iran telah bekerja sama sejak berdirinya Hizbullah sebagai tanggapan terhadap invasi Israel ke Lebanon pada 1982.
Israel, pada bagiannya, secara konsisten melancarkan pertempuran domestiknya dengan kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah sebagai bagian dari pertempuran yang lebih luas melawan Iran.
Iran, meskipun belum memiliki senjata nuklir, secara luas dianggap hampir mencapai tujuan tersebut setelah perjanjian untuk membatasi pengembangan nuklir negara itu tiba-tiba dibubarkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, pada 2018.
Bahkan tanpa program senjata nuklir, Iran adalah salah satu kekuatan militer terkuat di kawasan Timur Tengah.
Selain proksi-proksinya, seperti Houthi di Yaman dan Hamas di Gaza, Iran memiliki salah satu tentara konvensional terbesar di kawasan tersebut.
AS diketahui berusaha melawan pengaruh Iran di Timur Tengah.
Terlepas dari dukungannya yang tegas terhadap Israel, AS sering kali menemukan dirinya berada pada jalur yang berkonflik dengan Iran karena masing-masing bertempur untuk mendapatkan pengaruh regional.
Apa yang dilakukan sekutu mereka?
Baik AS maupun Iran telah berulang kali menunjukkan, mereka menyadari risiko yang mungkin ditimbulkan oleh setiap eskalasi.
Meskipun ada provokasi dari Israel - seperti serangan terhadap konsulat Iran di Damaskus, Suriah, pada April 2024 dan pembunuhan Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh - respons Iran terhadap Tel Aviv sejauh ini masih biasa saja.
Pembalasan Iran atas serangan udara pada April 2024, sudah diramalkan jauh-jauh hari dan sebagian besar berhasil dicegat Israel.
Namun, hingga saat ini, Iran belum menunjukkan ada tanggapan atas pembunuhan Haniyeh.
Setelah serangan pager terhadap anggota Hizbullah dan warga sipil tak berdosa, komandan Korps Garda Revolusi Islam Iran, Hossein Salami, menjanjikan "respons yang menghancurkan dari poros perlawanan."
AS, meskipun dengan tegas mendukung Israel, juga telah menunjukkan kesadarannya terhadap risiko eskalasi.
Diplomat AS terus berperan aktif dalam memfasilitasi perundingan tidak langsung antara Hamas dan Israel untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Baca juga: Profil Ibrahim Aqil, Komandan Militer Hizbullah Tewas Diserang Israel, Kepalanya Dihargai Rp106 M
Presiden AS, Joe Biden, bahkan melangkah lebih jauh. Ia mengumumkan kesepakatan gencatan senjata pada Mei 2024, yang saat itu ia kaitkan dengan Israel.
Namun, kesepakatan itu kemudian ditolak.
Apakah sebagian pejabat Israel menginginkan eskalasi?
Bagi banyak orang di Israel, setelah puluhan tahun ketegangan dan konflik sporadis, perang dengan Hizbullah telah dianggap sebagai sesuatu yang tak terelakkan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah nasib sekitar 60.000 penduduk Israel utara yang dievakuasi setelah 7 Oktober untuk mengantisipasi serangan serupa dari Hizbullah.
Meskipun serangan itu tidak terjadi, baku tembak roket antara Israel dan Hizbullah telah menyebabkan wilayah utara Israel tidak lagi aman untuk ditinggali lagi.
Banyak pula yang menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berusaha memperpanjang dan meningkatkan perang saat ini demi kepentingan politiknya.
Keluarga sandera Israel yang ditawan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023, telah berulang kali menuduh Netanyahu menggagalkan potensi perjanjian gencatan senjata.
Kekhawatiran serupa juga sempat disampaikan oleh Biden, yang mengisyaratkan hal yang sama pada Juni 2024 .
"Saat ini, terjadi permainan paling mahal di dunia yang berlangsung di seluruh wilayah," kata analis politik, Ori Goldberg, dari Tel Aviv minggu lalu.
"Hal itu selalu dibingkai sebagai semacam keniscayaan, sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh para pemimpin Israel. Mereka menciptakan ramalan mereka sendiri yang terwujud dengan sendirinya."
"Tidak ada strategi, tidak ada visi, tidak ada apa-apa. Mereka hanya mengerjakannya hari demi hari dan berasumsi perang akan terjadi," jelas dia.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)