News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Masifnya Perkembangan Militer China Dinilai Jadi Potensi Ancaman Indonesia dan ASEAN

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rudal balistik antarbenua China yang dipamerkan saat parade militer di Beijing, belum lama ini.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti perkembangan ekonomi digital dan otomotifnya yang luar biasa, China juga mengalami modernisasi besar-besaran di industri militer dan kemampuan persenjataan dan pertahanannya.

Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) China kini terus memperkuat postur militernya menjadi sebuah kekuatan militer kelas dunia dalam waktu relatif singkat.

Bagi Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya di ASEAN, tentu saja ini jadi tantangan sekaligus ancaman baru. Peristiwa gesekan antara kapal patroli penjaga pantai China jenis korvet dengan kapal patroli laut Filipina di gugusan kepulauan karang di Laut China Selatan September 2024 lalu adalah contoh nyatanya.

Seiring dengan upayanya untuk meningkatkan kapasitas militernya itu, China belakangan juga cenderung menempatkan dirinya berhadap-hadapan langsung dengan Barat seperti kekuatan militer Amerika Serikat, dan berpotensi menjadikan kawasan Laut China Selatan (LCS) sebagai arena pertempuran bila konflik China dengan kekuatan Barat meletus pada masa mendatang. 

Pada sisi lain, peningkatan kekuatan militer China berpotensi pula menambah ketegangan antara China dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang sebagian wilayahnya diakui oleh China, meski pengakuan China itu bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS). 

Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johanes Herlijanto, Ph.D, menganggap posisi dampak dari proyek modernisasi angkatan bersenjata China di atas sebagai isu yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami baik oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia.  

“Di Kongres Nasional Partai Komunis China (PKC) ke-20 tahun 2022 lalu, Presiden China Xi JInping mengubah target bagi terlaksananya modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan China yang pada awalnya tahun 2035 menjadi tahun 2027,” kata dosen Universitas Pelita Harapan (UPH) ini.

Johanes menyampaikan paparannya tersebut di acara diskusi publik “Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan China: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI)  di kampus Universitas Paramadina Jakarta, Senin, 30 September 2024. 

Diskusi publik ini menghadirkan pemerhati keamanan regional Brigadir Jenderal TNI (Purn) Victor P. Tobing, M. Si (Han), dosen Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Dr. Peni Hanggraini, M.A., dan direktur riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Aisha Rasyidila Kusumasomantri, M.Sc.  

Brigjen TNI (Purn) Victor P. Tobing dalam pemaparannya memperlihatkan bahwa modernisasi militer China bukanlah sesuatu yang tiba-tiba.

"Setiap pulau di wilayah penguasaan China di Laut China Selatan saat ini terdapat fasilitas militernya," kata Victor.

"Modernisasi kapal induk China juga sedang terjadi China akan segera operasikan kapal induk yang akan ditempatkan di Pangkalan Hainan." 

"Sampai 2035 tidak ada lagi lubang di wilayah utara, tengah dan selatan China," bebernya.

Modernisasi Militer China Ide Sejak Era Deng Xiaoping

Victor menjelaskan, ide mencanangkan modernisasi militer telah ada sejak zaman modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978,” tuturnya.

Namun perbedaan yang tajam terjadi sejak Xi Jinping mencapai kedudukan tertinggi dan menjadi penguasa partai, militer, dan negara pada tahun 2012. 

“Bila pada awalnya China tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak diluncurkannya buku putih kedua pada tahun 2013, China mencanangkan agar kekuatan militernya setara dengan posisi internasional China,” tuturnya.

Menurut Victor, inilah yang melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika. 

Dalam makalahnya, Victor juga memperlihatkan bagaimana China menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rantai kepulauan pertama pertahanan China, sedangkan wilayah Samudra Pasifik, dari mulai bagian utara Papua Barat, Palau, Guam, hingga ke Jepang sebagai rantai kepulauan kedua pertahanan negara itu.

Victor menduga China yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau yang tersebar di LCS tak akan berkesulitan untuk menguasai wilayah yang menjadi rantai kepulauan pertama pertahanannya itu. 

Menurut pria yang pernah bertugas di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum danKeamaan (Kemenkopolhukam) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) itu, kehadiran kapal induk China ketiga.

Yaitu kapal induk bernama Fujian yang baru saja melalui uji coba beberapa bulan yang lalu, menghadirkan salah satu tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain dalam kaitan dengan modernisasi militer China. 

Tantangan lainnya, menurutnya, antara lain adalah Kongres Nasional PKC ke 21, yang nampaknya hanya akan mengukuhkan Xi menjadi pemimpin China pada periode berikutnya.

“Ini artinya tak akan ada perubahan yang signifikan dalam hal kebijakan yang berlaku di China,” kata Victor. 

Victor juga menyoroti belanja pertahanan Republik Indonesia tahun 2025 sebagai salah satu tantangan lain yang dihadapi Indonesia. 

China Belum Akan Berani Serang Taiwan karena Alasan Ini

Pembicara lainnya, Aisha Rasyidila Kusumasomantri, Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI) dalam makalahnya berjudul "Pengembangan Industri Pertahanan China dan Implikasinya pada Asia Tenggara" membeberkan, China sangat pesat di teknologi pertahanan, laut dan udara. 

"Anggaran militer China yang mencapai 7 sampai 9 persen dari GDP," sebutnya.

Dia menekankan, meski punya kekuatan militer besar, dia yakin China tidak menyerang Taiwan sekarang karena postur kekuatan militernya masih di bawah AS dan jika itu dilakukan, China pasti akan kalah.

"China masih memperluat kemampuan militernya hingga setara AS antara lain dengan memperkuat armada kapal perang dan coast guard," sebutnya.

"Coast guard China saat ini sudah menggunakan kapal jenis korvet. Sementara negara lain di sekitarnya masih menggunakan kapal patroli bisa.

Dibandingkan dengan anggaran pertahanan RI yang hanya 0,7 persen dari GDP di 2024, menurutnya, Indonesia jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan China.

"Tahun 2035 China berharap bisa miliki 8 kapal induk. Mereka sedang bangun kapal induk keempat," sebutnya.

Dibandingan dengan militar Amerika Serikat, AS saat ini memiliki 11 kapal induk.

Kembali dia menekankan, angkatan bersenjata China kini telah menjadi salah satu militer yang sedang mengalami pertumbuhan paling pesat di dunia.  

Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat dengan sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal tempur permukaan laut. Angkatan bersenjata China juga didukung oleh teknologi operasi multi-domain dan sistem otonomi berbekal Artificial Intelligence (AI) dan robot. 

Namun perkembangan militer China di atas berpotensi menghadirkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain mengingat China saat ini berupaya menegakan pengakuan kepemilikannya, yang bertentangan dengan hukum laut internasional (UNCLOS), atas berbagai wilayah di LCS. 

Upaya penegakan klaim kepemilikan ini dilakukan China antara lain dengan memperkuat armada penjaga pantainya, melakukan aksi agresif yang dimotori oleh kapal-kapal penjaga pantai, serta menerapkan taktik zona abu-abu (greyzone) untuk mengganggu negara-negara lain yang memiliki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di LCS. 

Aisha menekankan bahwa Indonesia sebenarnya tidak terlibat dalam klaim kepemilikan baik dengan China maupun dengan negara-negara lain di LCS. Namun Indonesia tetap saja terimplikasi, dan bisa terkena dampak bila ketegangan di LCS meningkat.

Dalam pandangan Aisha, Indonesia masih memiliki beberapa pilihan dalam meresponi perkembangan di atas.

Menurut dia, Indonesia dapat meningkatkan diplomasi pertahanannya dengan China, antara lain dengan menjajagi kemungkinan kerja sama pertahanan antara kedua negara.

Namun pada sisi lain Indonesia harus pula meningkatkan pendekatan pertahanan yang mengantisipasi perkembangan di luar Indonesia.

“Antara lain, Indonesia perlu meningkatkan bujet pertahanannya sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan di kawasan,” pungkasnya. 

Peni Hanggarini, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini.

“China seolah-olah mengurangi jumlah personal angkatan bersenjatanya, tapi  militer China makin kuat dalam bidang teknologi."

"China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” ujar penyandang gelar doktor di bidang strategi pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia ini. 

Dalam pandangan Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif yang ditopang oleh upaya untuk mengejar China Dream. 

Menurutnya, selain ditujukan untuk menggapai impian untuk mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usia RRC yang ke 100 pada tahun 2049, sikap 3 A, yaitu ambisius, asertif, dan agresif di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat (AS).

Peni menjelaskan bahwa perkembangan di atas direspons oleh negara-negara ASEAN dengan pendekatan yang berbeda-beda. 

Indonesia, misalnya, masih menjalin diplomasi pertahanan dengan China, meskipun dalam taraf kerja sama pertahanan yang tergolong masih kategori tingkat rendah.

Peni juga berpandangan, masih terdapat banyak ruang untuk meningkatkan diplomasi pertahanan Indonesia dengan China, baik secara bilateral maupun dalam konteks China sebagai mitra ASEAN. 

"Setiap negara di ASEAN memiliki policy berbeda. Khusus Indonesia, akan menggunakan strategi diplomasi berdasarkan sikap politik bebas aktif. Hubungan pertahanan Indonesia-China saat ini levelnya masih sangat rendah," tegasnya.

"Latihan militer bersama China dengan Indonesia sejak 2003 sampai 2022 baru 4 kali diselenggarakan. Sementara, Indonesia dengan AS sudah dilakukan lebih dari 110 kali selama periode itu," tegasnya.

 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini