TRIBUNNEWS.com - Israel telah melakukan genosida di Gaza selama setahun terakhir, usai gerakan perlawanan Palestina, Hamas, melakukan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.
Selama melakukan genosida, Israel bersumpah akan melenyapkan Hamas dan memulangkan para sandera yang ditahan di Gaza.
Sebagai informasi, Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan Hamas merupakan respons atas kekejaman Israel selama puluhan tahun terhadap warga Palestina.
Dilansir PressTV, berikut ini empat tujuan Israel yang gagal terlaksana, setelah setahun melakukan genosida di Gaza:
1. Mengalahkan Hamas
Setelah mitor tentang ketangguhan militer Israel hancur pada Oktober 2023 akibat Operasi Banjir Al-Aqsa, pejabat Tel Aviv mengadopsi retorika serupa.
Israel menjadikan "penghancuran Hamas" sebagai agenda utama mereka di Gaza.
"Tujuan kami adalah menghancurkan sepenuhnya kemampuan militer dan pemerintahan Hamas," kata Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, setelah Operasi Banjir Al-Aqsa.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyuarakan hal serupa dengan mengatakan, "Kami akan membubarkan Hamas."
Untuk mencapai tujuan tersebut, Israel selalu membenarkan serangan udaranya terhadap fasilitas kesehatan di Gaza.
Mereka menuduh Hamas menggunakan "infrastruktur sipil" untuk tujuan militer.
Israel juga menuduh Hamas mengoperasikan sistem terowongan di bawah rumah sakit Gaza untuk kegiatan militernya.
Baca juga: Israel Ubah Gaza Jadi Tempat Paling Mematikan bagi Jurnalis, 175 Tewas selama Satu Tahun Genosida
Klaim ini menyusul serangan udara Israel terhadap Rumah Sakit (RS) Al-Ahli di Gaza pada 17 Oktober 2024.
Dalam insiden itu, lebih dari 471 orang tewas dan sekitar 342 terluka.
Klaim itu kemudian dibantah, tapi Israel terus menargetkan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur sipil lainnya.
Saat serangan udara terhadap infrastruktur sipil di Gaza meningkat, Israel mengklaim serangan itu menargetkan tempat persembunyian Komandan Hamas, khususnya pemimpin militer Mohammad Deif.
Tapi, tidak satupun narasi Israel terbukti benar setelah satu tahun peringatan Operasi Banjir Al-Aqsa.
Lalu, apakah Hamas sudah berhasil dikalahkan?
Beberapa waktu lalu, Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Daniel Hagari, mengatakan Hamas tak bisa dimusnahkan begitu saja.
"Gagasan bahwa Hamas dapat dihancurkan, bahwa Hamas telah lenyap - sama saja dengan melemparkan pasir ke mata publik," ujar Hagari dalam wawancara bersama Channel 13 Israel pada Juni 2024, dilansir The Times of Israel.
"Hamas adalah sebuah ideologi. Hamas adalah sebuah partai. Ideologi ini telah mengakar di hati rakyat (Palestina). Siapapun yang berpikir kita bisa melenyapkan Hamas, adalah salah," imbuh Hagari.
Baca juga: Konflik Palestina vs Israel Tak Bermula dari 7 Oktober 2023, Deklarasi Balfour Jadi Biangnya
Saat itu, Hagari juga memperingatkan, "jika pemerintah tidak menemukan alternatif, (Hamas) akan tetap berada" di Jalur Gaza.
2. Menghancurkan Poros Perlawanan
Tentara Israel selama satu tahun terakhir telah menggunakan taktik perang hibrida untuk mengisolasi, melemahkan semangat, memecah belah, dan melemahkan kelompok perlawanan dari Lebanon, Irak, hingga Yaman.
Israel menargetkan komandan tinggi kelompok perlawanan dari wilayah tersebut, dengan tujuan untuk menciptakan kekosongan kepemimpinan.
Harapannya, agar ada perpecahan internal di antara kelompok perlawanan.
Militer Israel juga berupaya menimbulkan perpecahan di kalangan kelompok perlawanan, dengan menyebarkan narasim warga sipil Palestina harus membayar harga atas tindakan kelompok perlawanan.
Selain itu, militer Israel juga mendorong opini dengan menggambarkan kelompok perlawnaan sebagai kelompok lemah.
Namun, rencana Israel kembali gagal karena setiap warga sipil yang kehilangan anggota keluarga akibat serangan di Gaza, bersumpah akan mendukung pejuang perlawanan dan membalas dendam terhadap Tel Aviv.
Bukan saja rencana Israel gagal, tetapi kelompok perlawanan juga berhasil memperoleh penerimaan dan popularitas publik yang lebih besar dari penduduk yang menjadi sasaran apartheid Israel selama bertahun-tahun.
Selama setahun terakhir, kelompok perlawanan di Gaza serta negara-negara regional Lebanon, Yaman, dan Irak secara teratur melakukan operasi militer melawan rezim Israel.
Di luar dukungan publik, kelompok perlawanan semakin bersatu pada tingkat operasional.
Gerakan perlawanan di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Irak, Lebanon, dan Yaman secara kolektif menanggapi seruan untuk keadilan Palestina, dengan masing-masing melaksanakan operasi anti-Israel.
3. Pembebasan Tawanan Israel
Kegagalan juga terjadi pada tujuan Israel untuk membebaskan para sandera yang ditahan di Gaza.
Pejabat Israel menggunakan alasan "pembebasan tawanan Israel" sebagai pembenaran utama untuk memperluas serangan di Gaza.
Pejabat Israel, utamanya Benjamin Netanyahu, tak benar-benar peduli terhadap kesejahteraan para sandera.
Baca juga: Ancam Israel agar Tak Uji Tekad Iran, Menlu Araghchi: Respons Kami Akan Lebih Kuat
"Kami berkomitmen untuk memulangkan semua tawanan kami," kata Netanyahu.
Yoav Gallant juga mengatakan hal serupa, menyebut pembebasan tawanan Israel sebagai "tugas moral".
Namun, seiring berjalannya waktu, menjadi jelas, apa yang disebut kewajiban moral itu hanyalah dalih bagi Israel untuk memperpanjang agresinya di Gaza demi memenuhi tujuan lain.
Syarat tambahan yang diberikan Netanyahu pada perjanjian gencatan senjata memperlebar kesenjangan dalam mencapai gencatan senjata.
Hal ini menjadi jelas bagi publik, tujuan sebenarnya Israeladalah kelanjutan agresi, bukan pembebasan tawanan.
Sebagai informasi, syarat tambahan yang diajukan Netanyahu dalam perjanjian gencatan senjata termasuk peningkatan rasio pertukaran tawanan, dimulainya kembali agresi militer di Gaza setelah gencatan senjata, dan pengawasan serta kehadiran militer Israel yang terus berlanjut
Banyak sandera Israel yang tewas dalam serangan udara Israel tahun lalu dan banyak yang masih ditahan di terowongan Hamas yang tersebar di wilayah pesisir.
4. Menormalisasi Pendudukan
Setelah Operasi Banjir Al-Aqsa, Israel segera berusaha menarik simpati internasional dan membenarkan serangan brutalnya terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Media Israel meluncurkan kampanye propaganda melawan Hamas, menyebarkan klaim palsu tentang pejuang perlawanan Palestina, termasuk tuduhan pemenggalan kepala anak-anak dan rudapaksa terhadap wanita Israel.
Klaim-klaim ini diperkuat oleh Washington dan sekutu Barat lainnya dari Tel Aviv.
Tetapi, begitu kebenaran terungkap, media yang menyebarkan kebohongan ini menjadi bungkam.
Ketika kebrutalan Israel di Gaza meningkat, rekaman CCTV dari penjara terkenal Sde Teman di Israel muncul, menunjukkan tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menyerang seorang tahanan Palestina.
Terlebih lagi, Israel tidak hanya gagal membenarkan agresinya terhadap Gaza, tetapi perundingan normalisasi antara Tel Aviv dan beberapa negara Arab juga terhenti.
Sebab, tekanan publik terhadap para pemimpin negara-negara Arab tersebut meningkat.
Publik mendesak untuk menghentikan normalisasi dengan Israel yang tercemar oleh darah orang tak berdosa.
Di bidang hukum, Tel Aviv menghadapi dampak lebih lanjut ketika Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada Desember 2023, karena melanggar Konvensi Genosida 1948.
Posisi internasional Israel semakin melemah karena banyak negara menyerukan "embargo senjata" terhadapnya, termasuk beberapa sekutu utama di Barat, seperti Prancis.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyerukan "solusi politik" dan mendesak penghentian pengiriman senjata yang tidak diterima dengan baik oleh Netanyahu dan para menterinya.
Selain itu, gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) secara signifikan memperdalam isolasi global Israel dengan menargetkan koneksi ekonomi, budaya, dan politiknya.
Dengan mengadvokasi bisnis, universitas, dan pemerintah untuk memutuskan hubungan dengan Israel atas agresinya di Palestina, BDS telah menekan aktor asing untuk menjauhkan diri dari rezim Israel.
Bentuk perlawanan damai ini semakin mengintensifkan marginalisasi diplomatik Israel.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)