TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Matthew Miller, mengomentari seruan Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qaseem, yang mendukung upaya parlemen Lebanon untuk mendorong gencatan senjata Hizbullah dan Israel.
Matthew Miller mengatakan Hizbullah berada dalam posisi yang tertekan setelah Israel melakukan serangan udara skala besar di Lebanon sejak Senin (23/9/2024).
Serangan tersebut menewaskan pemimpinnya, Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah di markasnya di Distrik Dahiya, pinggiran Beirut, Lebanon, pada Jumat (27/9/2024).
"Seruan Hizbullah untuk melakukan gencatan senjata menunjukkan kelompok tersebut bersikap defensif dan menjadi sasaran pukulan hebat," kata Matthew Miller, Selasa (8/10/2024), merujuk pada serangan sekutu AS, Israel di Lebanon selatan.
Ia menuduh Hizbullah mengubah sikapnya dalam mendukung perlawanan Palestina, Hamas, di Jalur Gaza ketika Israel masih menyerang wilayah tersebut.
“Selama setahun, dunia telah menyerukan gencatan senjata ini, dan Hizbullah menolak untuk menyetujuinya, dan sekarang Hizbullah berada dalam posisi bertahan dan mengalami pukulan hebat, tiba-tiba mereka mengubah posisinya dan menginginkan gencatan senjata," lanjutnya.
“Kami pada akhirnya masih menginginkan solusi diplomatis terhadap konflik ini," tambahnya.
Ketika Matthew Miller ditanya apakah AS sedang berbicara dengan Ketua Parlemen Lebanon, Nabih Berri (sekutu Hizbullah), mengenai upaya yang dilakukan di Lebanon untuk memilih presiden baru, dia mengatakan para pejabat AS sedang mengadakan pembicaraan dengan berbagai pihak di Lebanon, sebagian besar melalui mediator.
"Pembicaraan ini terus berlanjut. Saya rasa tidak ada gunanya bagi saya untuk mengungkapkan isinya," kata Matthew Miller, seperti diberitakan Al Arabiya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal Hizbullah, Naim Qaseem, mendukung upaya Ketua Parlemen Lebanon, Nabih Berri yang dekat dengan Hizbullah, untuk mendorong gencatan senjata dengan Israel.
“Kami mendukung gerakan politik yang dipimpin oleh Nabih Berri, yang judul dasarnya adalah gencatan senjata," kata Naim Qaseem dalam pidatonya yang ditayangkan di TV Lebanon, Selasa kemarin.
Baca juga: Israel Klaim Bunuh Hashem Safieddine Penerus Hassan Nasrallah: Hizbullah, Organisasi Tanpa Kepala
“Jika musuh (Israel) melanjutkan perangnya, maka situasi akan ditentukan, dan kami adalah orang-orang yang berada di lapangan dan kami tidak akan meminta solusi," tambahnya.
Sejak 8 Oktober 2023, Hizbullah mendukung perlawanan Palestina, Hamas, di Jalur Gaza dan terlibat pertempuran dengan Israel di perbatasan Lebanon selatan dan Israel utara, Palestina yang diduduki.
Hizbullah bersumpah akan berhenti menyerang Israel jika Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza.
Jumlah Korban di Jalur Gaza
Saat ini, Israel masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza, jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 41.965 jiwa dan 97.590 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Selasa (8/10/2024), dan 1.147 kematian di wilayah Israel, dikutip dari Al Mayadeen.
Sebelumnya, Israel mulai membombardir Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023), untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak tahun 1948.
Israel mengklaim, ada 101 sandera yang hidup atau tewas dan masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel