"Pasokan sejumlah barang bagi kami akan dibatasi, dan kami mungkin juga harus mempertimbangkan pembatasan serupa, misalnya uranium, titanium, dan nikel," kata Presiden Rusia Vladimir Putin pada pertengahan September.
Putin menginstruksikan pemerintahnya untuk mempertimbangkan pembatasan perdagangan dengan luar negeri, khususnya Barat.
Kremlin pada 2022 pernah mencoba menekan Eropa dengan ancaman membatasi pasokan gas. Tujuannya adalah untuk melemahkan dukungan Barat terhadap Ukraina. Namun ancaman terbarunya ini signifikan. Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) mengimpor bahan mentah tersebut dari Rusia dalam jumlah besar.
Rusia pasok 40% uranium global
Bukan kebetulan bahwa Putin menyebut uranium terlebih dahulu. Perusahaan milik negara Rusia, Rosatom, menguasai lebih dari 40% pangsa pasar dunia untuk uranium yang diperkaya. Ini adalah bahan yang sangat diperlukan untuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir.
Sejauh ini, tidak ada negara lain yang menawarkan uranium berkualitas tinggi dengan pengayaan rendah untuk reaktor generasi baru. Perusahaan AS, Centrus Energy, adalah yang pertama memulai pengayaan uraniumnya pada akhir 2023, tetapi volume produksinya diperkirakan masih akan tetap rendah. Bisnis utama Centrus Energy sebenarnya adalah pasokan uranium yang diperkaya yang dibeli dari Rosatom.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Secara keseluruhan, pangsa pasar Rosatom di AS mencapai lebih dari 20%, dan sekitar 30% di UE. Sebagai pembeli terbesar dari Rusia, AS menyumbang setengah dari penjualan luar negeri Rosatom, yang jumlahnya sekitar $2 miliar per tahun. Penjualan uranium Rosatom ke UE mencapai nilai $500 juta.
Rosatom juga memasok bahan bakar dan layanan akhir untuk pembangkit listrik tenaga nuklir rancangan Uni Soviet dan Rusia. Menurut angka-angkanya sendiri, pada tahun 2023 perusahaan tersebut meraup laba lebih dari $4 miliar dari total omzet globalnya sebesar $16,4 miliar di negara-negara Barat.
Rusia sukses hindari sanksi Barat
Menghentikan penjualan akan merugikan kedua belah pihak, itulah sebabnya hingga saat ini Rosatom adalah salah satu dari sedikit perusahaan Rusia yang tidak dikenai sanksi Barat. Meski demikian, Barat telah menyadari bahwa ketergantungan sektor energi nuklir pada Rusia harus dikurangi. Hanya Presiden Hongaria Viktor Orban yang punya pandangan berbeda.
Selain Rosatom, dua perusahaan Eropa, Urenco dan Orano, juga melakukan pengayaan uranium dalam jumlah besar. Keduanya memperluas kapasitas produksi untuk meningkatkan pasokan ke pasar yang paling penting, AS. "Jika strategi ini berhasil, AS bisa terlepas dari ketergantungan pasokan Rusia dalam waktu sekitar lima tahun, dan UE beberapa saat kemudian, " kata Dmitry Gorchakov, ahli nuklir di Bellona, lembaga nirlaba yang mendukung kebijakan lingkungan berkelanjutan di berbagai sektor industri.
Perusahaan-perusahaan AS baru-baru ini juga mengimpor lebih banyak uranium yang diperkaya dari Cina. Ada kemungkinan ini sebenarnya adalah uranium dari Rusia yang dijual ke Cina. Rusia dengan signifikan telah meningkatkan pengiriman kepada mitra dagang terpentingnya yakni Cina sejak 2022. Ini menunjukkan fakta pahit, meskipun ada sanksi, bahan baku dari Rusia masih dapat mencapai pasar AS dengan cara lain.
Menavigasi ketergantungan titanium Rusia
Titanium di Rusia hampir seluruhnya diproduksi oleh VSMPO-Avisma, perusahaan yang berpusat di Pegunungan Ural. Perusahaan ini memproduksi sekitar 15% spons titanium dunia. Ini adalah bahan mentah yang digunakan untuk membuat ingot titanium, banyak digunakan dalam pembuatan komponen untuk industri kedirgantaraan, otomotif, medis, dan kimia.
Sebagai perbandingan, lebih dari separuh spons titanium yang tersedia di dunia diproduksi di Cina, kurang dari seperempatnya diproduksi di Jepang, dan kurang dari 10% di Kazakhstan.
Seperti Rosatom, VSMPO-Avisma juga terkena sanksi AS, meskipun tidak terkena sanksi UE. Sebelum perang di Ukraina, pelanggan utama VSMPO-Avisma di luar negeri adalah perusahaan pesawat Boeing dari AS, dan pesaingnya dari Eropa, Airbus.
VSMPO-Avisma memenuhi sekitar sepertiga kebutuhan titanium Boeing dan lebih dari separuh kebutuhan Airbus. Namun Boeing mengumumkan berakhirnya kerja sama dengan VSMPO-Avisma setelah dimulainya perang pada musim semi 2022. Airbus mengambil Langkah serupa pada Desember 2022.
Sebelumnya, CEO Airbus Guillaume Faury berbicara menentang sanksi, karena tindakan ini sama saja dengan sanksi terhadap perusahaannya sendiri. Mengingat proses produksi yang rumit dan ketergantungan dalam industri kedirgantaraan, hampir mustahil bagi Airbus untuk begitu saja berganti pemasok.
Pada akhirnya, perusahaan Amerika dalam kondisi tertentu masih diizinkan bekerja sama dengan VSMPO-Avisma. Sanksi Kanada terhadap perusahaan Rusia juga memberikan pengecualian, misalnya untuk produsen pesawat Bombardier dan Airbus.
"Tidak seperti UE, AS dapat lebih mudah mengurangi ketergantungan terhadap Rusia karena memiliki perusahaan yang memproses spons titanium impor," jelas Andy Home, pakar logam dan kolumnis di kantor berita Reuters. Oleh karena itu, UE semakin bergantung pada AS untuk titanium, dan ini bertentangan dengan undang-undang UE tentang bahan baku penting yang disahkan tahun 2024. Namun untuk saat ini, UE tidak punya pilihan lain.
Masa depan nikel Rusia tidak menentu
Salah satu produsen nikel terbesar di dunia, perusahaan Rusia Norilsk Nickel, juga berhasil terhindar dari sanksi untuk beberapa lama. AS dan Inggris baru memberlakukan pembatasan sekitar sebulan lalu, sementara UE masih belum memberi sanksi.
Meskipun demikian, ekspor perusahaan berubah setelah perang dimulai. Pada tahun 2021, Eropa menyumbang lebih dari 50% penjualan Norilsk Nickel asal Rusia. Sementara Amerika Utara dan Selatan menyumbang 16%, dan Asia sebesar 27%. Pada tahun 2023, pangsa Eropa turun menjadi 24%, sementara Amerika Utara dan Selatan turun menjadi 10%. Di sisi lain, pangsa Asia naik menjadi 54%.
Perubahan orientasi dari Barat ke Timur ini bukan satu-satunya tantangan bagi perusahaan Rusia. Permintaan nikel telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir karena diperlukan untuk produksi baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik. Bersama dengan ketakutan akan sanksi, naiknya permintaan nikel telah menyebabkan fluktuasi harga.
Saat ini, harga di pasar global lebih rendah daripada sebelum Rusia menginvasi Ukraina, sebagian berkat nikel dari Indonesia, yang memiliki deposit nikel yang jauh lebih besar daripada Rusia. "Oleh karena itu, prospek Norilsk Nickel tidak jelas," kata Andy Home dari Reuters. Jadi, setidaknya untuk saat ini, Rusia tidak akan dapat menggunakan bahan baku istimewa ini sebagai senjata geopolitik yang potensial.
Diadaptasi dari artikel DW Jerman