TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketika kawasan Barat Asia kembali menatap kemungkinan perang yang meluas, Washington merespons dengan cara yang sudah sangat dikenal: mengirimkan lebih banyak penasihat, pasukan, dan senjata ke daerah tersebut.
Kali ini, pemerintahan Biden memutuskan untuk melengkapi penempatan angkatan laut dan pasukan AS yang besar di kawasan itu dengan satu baterai Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang canggih di Israel.
Perisai rudal itu bertujuan untuk melindungi Tel Aviv dari serangan balasan Iran.
Konteks Strategis AS dan Israel
AS dan Israel telah berdiskusi selama beberapa minggu mengenai bagaimana Israel akan merespons serangan rudal Iran pada 1 Oktober.
Secara sepintas, Washington berharap dapat mengendalikan hasrat Israel untuk melakukan aksi yang lebih besar dengan memberikan lebih banyak senjata dan dukungan.
Namun, situasi keamanan yang semakin tidak bisa dipertahankan dari Levant hingga Teluk Persia tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
Banyak pihak melihat langkah ini sebagai cara Biden untuk mengalihkan tanggung jawab kepada penerusnya.
Pengamat Timur Tengah Ali Ahmadi mengatakan, dalam konteks ini, pemerintahan Biden tidak hanya menghadapi masalah keputusan yang tidak tepat, tetapi juga tantangan terhadap prinsip-prinsip dasar konstitusi AS.
"Sesuai dengan konstitusi, presiden AS harus mendapatkan izin dari Kongres untuk memulai perang. Namun, kenyataannya, banyak presiden sejak Perang Dunia II telah mengabaikan prinsip ini," katanya.
Undang-Undang Kekuasaan Perang 1973 memberikan kekuasaan kepada presiden untuk melibatkan diri dalam konflik militer tanpa persetujuan Kongres, menciptakan situasi di mana keputusan dapat dibuat secara sepihak.
Politik luar negeri AS cenderung memperkuat kekuasaan eksekutif, dengan sedikit kontrol dari lembaga legislatif.
Seiring dengan berkurangnya minat anggota Kongres terhadap isu luar negeri, keputusan strategis sering kali diambil tanpa pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas yang ada.
"Sejauh mana kebijakan luar negeri Trump dan Biden serupa sangat mencolok. Kekuasaan luar biasa yang dipercayakan kepada seorang presiden dan kelompok penasihat pilihannya memastikan bahwa kebijakan luar negeri AS mempertahankan karakter impulsif yang tidak biasa bagi sebuah demokrasi."