Hamas Sebut Dua Sandera Rusia Akan Dibebaskan Duluan dalam Pertukaran Tawanan dengan Israel
TRIBUNNEWS.COM - Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas, Jumat (25/10/2024) mengatakan kalau dua tawanan akan diberikan prioritas untuk dibebaskan jika terjadi gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan di Jalur Gaza dengan Israel
Pejabat senior Hamas Mousa Abu Marzook mengatakan kepada kantor berita Rusia RIA, kalau dua tawanan Rusia, Alexander (Sasha) Trufanov dan Maxim Herkin, akan menjadi orang pertama yang dibebaskan dari Jalur Gaza – tetapi hanya sebagai bagian dari gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran sandera.
Baca juga: Nasib Jenazah Yahya Sinwar, Israel Takut Makam Pemimpin Hamas Bakal Jadi Lokasi Sakral
Keduanya memiliki kewarganegaraan ganda – Israel dan Rusia, dan Abu Marzook mengatakan hal ini akan dilakukan sebagai “isyarat penghormatan” Hamas terhadap Rusia.
Komentar itu muncul setelah pejabat senior Hamas bertemu kemarin di Moskow dengan Wakil Menteri Luar Negeri dan Perwakilan Khusus Rusia untuk Timur Tengah, Mikhail Bogdanov.
Delegasi Rusia dari Moskow tiba di Israel hari ini untuk membahas negosiasi bagi kemungkinan pembebasan mereka.
Media berbahasa Ibrani mengatakan delegasi tersebut menyampaikan pesan dari Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengakhiri agresi militer yang sedang berlangsung terhadap Gaza dan Lebanon.
Minta Rusia Tekan Presiden Palestina Bentuk Pemerintahan
Hamas juga ingin Rusia mendesak Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk memulai perundingan mengenai pemerintahan persatuan untuk Gaza pascaperang.
"Kami membahas isu-isu yang terkait dengan persatuan nasional Palestina dan pembentukan pemerintahan yang akan memerintah Jalur Gaza setelah perang," kata Marzouk seperti dikutip oleh RIA.
Marzouk mengatakan bahwa Hamas telah meminta Rusia untuk mendorong Abbas, yang menghadiri pertemuan puncak BRICS di Kazan, untuk memulai negosiasi tentang pemerintahan persatuan.
Abbas adalah kepala Otoritas Palestina (PA), badan pemerintahan wilayah Palestina yang diduduki.
PA dibentuk tiga dekade lalu berdasarkan perjanjian perdamaian sementara yang dikenal sebagai Kesepakatan Oslo.
PA menjalankan pemerintahan terbatas atas sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki, yang diinginkan Palestina sebagai inti negara merdeka di masa depan.
PA dikendalikan oleh faksi politik Fatah, pimpinan Abbas.
PA telah lama memiliki hubungan yang tegang dengan Hamas, gerakan yang menguasai Gaza.
Kedua faksi tersebut sempat terlibat perang singkat sebelum Fatah diusir dari wilayah Gaza pada tahun 2007.
Baca juga: Al Jazeera Bantah Tuduhan Israel yang Sebut 6 Jurnalisnya Anggota Hamas atau PIJ
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah menyatakan penentangan keras terhadap keterlibatan PA dalam mengelola Gaza.
Rencana Netanyahu Terhadap Gaza setelah Perang
Dilansir Al Jazeera, pada 3 Mei 2024, Netanyahu menerbitkan rencana pascaperang untuk Gaza.
Menurut rencana tersebut, warga Palestina di Gaza disebut akan menikmati kemakmuran yang tak tertandingi.
Investasi besar-besaran telah digariskan, termasuk pelabuhan bebas, energi surya, pembuatan mobil listrik, dan masyarakat yang diuntungkan dari ladang gas Gaza yang baru ditemukan.
Skema itu akan terjadi dalam tiga tahap, dari “tanggal kemenangan” yang tidak ditentukan hingga tahun 2035.
Warga Palestina di Gaza akan menjalankan rencana tersebut, dengan diawasi oleh koalisi negara-negara Arab.
Koalisi tersebut meliputi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain, Yordania, dan Maroko.
Secara politis, setelah Gaza “dideradikalisasi” dan trauma perang “dilupakan,” Gaza akan bergabung dengan Tepi Barat yang diduduki, yang saat ini berada di bawah administrasi PA, dan mengakui Israel melalui Perjanjian Abraham.
Namun, Israel akan mempertahankan hak untuk bereaksi terhadap apa pun yang dilihatnya sebagai “ancaman keamanan” dari Gaza.
Setelah berhasil, skema tersebut dapat diluncurkan di seluruh Suriah, Yaman, dan Lebanon.
Apakah rencana Netanyahu realistis?
Pada tanggal 2 Mei 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa pembangunan kembali Gaza akan menjadi upaya rekonstruksi pascaperang terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945.
Menurut Program Pembangunan PBB, sekitar 70 persen dari semua perumahan telah hancur.
Di luar trauma yang dialami oleh penduduk daerah kantong itu, Gaza akan membutuhkan sedikitnya $40-$50 miliar untuk membangun kembali.
Namun, tidak ditemukan adanya perkiraan biaya untuk rencana Netanyahu tersebut.