TRIBUNNEWS.COM - Berita bahwa Korea Utara telah mengirimkan 3.000 tentara untuk berlatih bertempur bersama Rusia, membuat Ukraina, AS, dan Eropa cemas.
Namun, berita ini memiliki makna khusus di Korea Selatan, di mana Korea Utara adalah musuh sekaligus tetangganya.
Sesuatu yang awalnya merupakan konflik di Eropa kini bisa menjadi konflik Asia juga, menurut analisis The Guardian.
Hubungan Korea Utara dengan Rusia dipercaya dapat memperburuk ketegangan di Semenanjung Korea dan berdampak pada stabilitas kawasan perbatasan antar Korea tersebut.
Perang di Ukraina pun diawasi dengan ketat di Seoul.
“Penempatan pasukan Korea Utara mengisyaratkan bahwa perang di Ukraina bukan lagi konflik yang tidak ada hubungannya dengan Korea Selatan,” tulis Korea Times dalam sebuah tajuk rencana.
Menurut pejabat AS dan Ukraina, pengerahan 3.000 prajurit Korea Utara itu baru merupakan tahap awal.
Jumlah pasukan kemungkinan akan meningkat hingga 12.000 orang.
Mereka termasuk pasukan terlatih khusus yang dikenal sebagai "korps penyerang".
"Pengerahan pasukan besar-besaran menunjukkan bahwa hubungan Rusia-Korea Utara telah berkembang melampaui sekadar penyediaan senapan, peluru, dan rudal jarak pendek ke tingkat aliansi darah," kata Korea Herald.
Korea Selatan khawatir bahwa keterlibatan Korea Utara dalam konflik Ukraina dapat berdampak buruk di sepanjang perbatasan mereka, di mana ketegangan sudah meningkat.
Baca juga: Anggota Parlemen AS: Jika Tentara Korea Utara Bantu Rusia, Kyiv Harus Balas Pakai Senjata Kami
Korea Selatan menyuarakan "kekhawatiran serius" setelah Rusia bergerak untuk meratifikasi perjanjian pertahanannya dengan Korea Utara.
Seoul kembali menyerukan kepada Rusia untuk menghentikan kerja samanya dengan Korea Utara.
Di bawah presiden konservatifnya, Yoon Suk Yeol, Korea Selatan telah mendukung sanksi yang dipimpin AS terhadap Rusia.
Korea Selatan juga memberikan bantuan kemanusiaan dan bantuan non-senjata lainnya kepada Ukraina.
Minggu ini, laporan media mengatakan bahwa Korea Selatan mempertimbangkan untuk mengirim pejabat ke Ukraina untuk memberikan informasi intelijen tentang taktik medan perang Korea Utara.
Korea Selatan juga bersedia ambil bagian dalam interogasi terhadap pasukan Korea Utara yang ditangkap.
Perubahan Kebijakan
Korea Selatan merupakan eksportir senjata terbesar kesembilan di dunia dengan penjualan senilai $14 miliar tahun lalu, mengutip The Guardian.
Namun, Korea Selatan memiliki kebijakan lama untuk tidak menyediakan senjata secara langsung kepada negara-negara yang terlibat dalam konflik.
Kebijakan ini berlaku untuk Ukraina.
Namun, pengerahan pasukan Korea Utara menambah tekanan pada Yoon untuk mencabut pembatasan tersebut.
Yoon menyebut bahwa mempersenjatai pasukan Ukraina merupakan sebuah opsi.
Ia mengatakan kepada wartawan minggu ini bahwa Korea Selatan tidak akan tinggal diam sementara Korea Utara "mengancam keamanan global".
"Meskipun kami telah mempertahankan prinsip kami untuk tidak secara langsung memasok senjata mematikan, kami juga dapat meninjau kembali sikap kami secara lebih fleksibel, tergantung pada tingkat aktivitas militer Korea Utara," katanya.
Keinginan Korea Selatan untuk mendapatkan dukungan yang lebih kuat bagi Ukraina semakin meningkat, meskipun hal itu meningkatkan kemungkinan senjata Korea Selatan digunakan untuk membunuh tentara Korea Utara.
Baca juga: Tentara Korea Utara Dilaporkan Diterjunkan ke Rusia, Korea Selatan Berjanji Tidak Akan Tinggal Diam
“Pertanyaan besarnya adalah apakah Seoul akan melonggarkan pembatasan bantuan militer langsung,” kata Euan Graham, analis senior di Australian Strategic Policy Institute.
“Namun, hal ini memerlukan perubahan konstitusional dalam beberapa kasus, jadi ini tidak mudah."
Kim Jong Un setuju untuk mengerahkan pasukannya untuk tujuan transaksional, bukan karena kepentingan strategis bersama, menurut Graham.
"Meskipun demikian, ini adalah perkembangan peristiwa yang luar biasa, mengingat bahkan tetangga Ukraina, Belarus, tidak ikut serta dalam peran tempur langsung."
Perang Proksi
Tujuh dekade setelah konflik tiga tahun antara Korea Selatan dan Korea Utara berakhir dengan gencatan senjata, keduanya kini terlibat dalam perang proksi di Eropa, menurut Ramon Pacheco Pardo, profesor hubungan internasional di King's College London.
"Korea Selatan secara tidak langsung telah memberikan bantuan militer kepada Ukraina dengan mengisi ulang peluru artileri yang dijualnya kepada sekutu Kyiv, yang kemudian dikirim ke Ukraina, sementara Korea Utara secara langsung memasok Rusia," ujar Pardo.
"Dan baik Korea Selatan maupun Korea Utara memperoleh informasi berharga dari perang tersebut."
"Jika Seoul secara langsung mentransfer senjata mematikan ke Kyiv, ini hanya akan menegaskan bahwa kedua Korea terlibat dalam perang proksi."
Kesepakatan Rusia-Korea Utara
Dilansir Reuters, Vladimir Putin menandatangani perjanjian dengan Kim Jong Un pada bulan Juni lalu.
Perjanjian itu mencakup kesepakatan saling membantu dalam "mengusir agresi eksternal."
Para analis mengatakan Korea Utara dapat memperoleh keuntungan dari penyediaan senjata dan pasukan yang memperoleh pengalaman dan wawasan dari operasi di medan perang.
Korea Utara, yang dikenai sanksi berat karena program senjata nuklirnya, juga tampaknya memperoleh impor minyak dan produk lain dalam jumlah besar dari Rusia, menurut badan intelijen asing dan citra satelit komersial yang diteliti oleh para analis.
Sebuah laporan oleh lembaga pemikir yang berafiliasi dengan badan intelijen Korea Selatan, memperkirakan bahwa Korea Utara yang kekurangan uang, memperoleh sekitar $540 juta tahun lalu dari penjualan senjata ke Rusia.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)