TRIBUNNEWS.COM -- Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang 'dag dig dug' melihat perkembangan politik di Amerika Serikat.
Bagaimana tidak, negara itu sangat tergantung pada bantuan AS dalam memerangi Rusia kemungkinan besar akan dipimpin oleh Donald Trump.
Konglomerat AS tersebut terus memimpin perolehan suara. Donald Trump diketahui sangat anti terhadap pemberian bantuan terhadap Ukraina.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-986: Ukraina Ejek Barat yang Diam saat Korea Utara Bantu Rusia
Ratusan miliar dolar AS telah diberikan oleh Pemerintahan Joe Biden secara cuma-cuma untuk mendukung Ukraina dengan memberikan senjata untuk berperang, namun Ukraina terus tergerus dan wilayahnya semakin berkurang digerogoti Rusia.
Berbeda dengan Kamala Harris yang menyatakan akan meneruskan kebijakan bantuan perang ke Ukraina, Trump justru menegaskan akan mengambil kebijakan berlawanan.
Dalam kampanyenya Trump berkali-kali, mampu menghentikan perang Ukraina-Rusia dalam sehari dan menghentikan bantuan yang dianggap sia-sia. Ia berjanji akan mengakhiri perang dalam 24 jam.
Zelensky tentu tak ingin perjuangannya mempertahankan Ukraina akan tamat. Jika Trump menghentikan perang dengan wilayah yang dikuasai saat ini, tentu Ukraina akan rugi besar, karena empat oblast atau provinsinya akan lepas yaitu Luhansk, Donetsk, Kherson dan Zaphorozhia menyusul Krimea yang telah direbut sejak 2014 lalu.
TheNation.com menyebutkan bahwa peperangan Ukraina-Rusia berkepanjangan karena hadirnya para aktivis 'partai perang' di AS.
'Partai perang' adalah sebutan untuk sekumpulan politisi di AS yang mendukung atau menginginkan perang. Mereka menginginkan peperangan terjadi di negara lain lalu AS memihak kepada salah satu kubu dan menawarkan senjata demi kepentingan politis dan ekonomi bagi AS atau kelompok tertentu.
Sebagai contoh Irak dan Libya kini hancur karena politisi yang menginginkan terjadinya perang, mereka akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan senjata dan aspek lain yang ditinggalkan dari perang.
Baca juga: Bagaimana Nasib Gaza dan Ukraina di Tangan Donald Trump atau Kamala Harris?
Para pemimpin tim kebijakan luar negerinya seperti Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan penasihat keamanan nasional Jake Sullivan merupakan para veteran yang terlibat dalam kegagalan masa lalu.
Blinken yang beraliran keras adalah pendukung setia Perang Irak, yang tentunya merupakan petualangan paling membawa bencana sejak Vietnam. Sementara Jake Sullivan, ahli strategi favorit Hillary Clinton, berperan penting dalam bencana Libya, yang dengan gembira ia bingkai sebagai contoh "doktrin Clinton" sebelum meninggalkan Libya dalam kekacauan yang hebat.
Media asal AS itu menyebutkan kaum neokonservatif seperti Max Boot dan Eliot Cohen terus berusaha kini menyerang pemerintah karena kehati-hatiannya dalam mempersenjatai Ukraina.
Mereka tidak hanya ingin Ukraina menang, namun menginginkan Rusia dihancurkan. "Kita perlu melihat banyak orang Rusia melarikan diri, membelot, menembak perwira mereka, ditawan, atau mati. Kekalahan Rusia pastilah kekacauan yang sangat besar dan berdarah," kata Cohen dalam wawancaranya dengan The Atlantic.
Meski Biden terkesan ngotot, namun tiba-tiba permintaan para 'aktivis partai perang' tersebut tiba-tiba dipenuhi. Sebagai contohnya, ketika perang Ukraina telah jatuh ke dalam kebuntuan yang brutal dan berdarah, pemerintah perlahan-lahan menyetujui seruan untuk eskalasi—mengirim tank, lalu bom cluster, lalu menyetujui F-16 melalui sekutu, dengan rudal jarak jauh yang akan segera menyusul. Ini adalah tindakan yang sangat bergantung pada pengendalian diri seorang pemimpin yang kita katakan sebagai orang gila.
Seorang wartawan yang juga pakar neoconservative Robert Kagan mengatakan bahwa negara adi kuasa tidak akan pernah pensiun.
"Sudah waktunya untuk memberi tahu orang Amerika bahwa tidak ada jalan keluar dari tanggung jawab global, tugas menjaga tatanan dunia tidak ada habisnya dan penuh dengan biaya tetapi lebih baik daripada alternatifnya," kata Kagan yang juga suami mantan Wakil Menlu AS Victoria Nuland.
Meski bantuan yang diumumkan berjumlah ratusan miliar dolar AS, namun Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa bantuan yang cair saat ini baru 10 persen.
Lantas bagaimana jika Trump yang memimpin AS, apakah Ukraina akan tamat?
Media asal Kiev, Strana memberitakan bahwa kemungkinan Trump akan menghentikan perang Ukraina memang cukup besar. Namun bukan berarti 'partai perang' akan berhenti begitu saja.
Ada kemungkinan bahwa Trump benar-benar bermaksud untuk mengakhiri perang sesegera mungkin, menghentikannya di garis depan, membawa Ukraina dan Rusia pada penyelesaian perjanjian yang tepat. Namun, "partai perang global" akan mencoba melakukan segalanya untuk mencegah hal ini.
Oleh karena itu, "cabangnya" di Partai Republik akan mencoba meyakinkan Trump pada tahap awal untuk tidak menawarkan kompromi apa pun kepada Putin terkait perang di Ukraina, dan jika ini tidak berhasil, maka "cabang" Moskow dari "partai perang global" akan turun tangan, mencoba meyakinkan Putin untuk menolak usulan Trump.
Namun secara keseluruhan, kemenangan Trump tentu saja dapat mengubah arah AS terkait Ukraina secara serius. Hal itu dapat berubah lebih radikal lagi jika pihak yang kalah tidak mengakui hasil pemilu dan konfrontasi sipil berskala besar dimulai di AS. Maka Washington tidak akan punya waktu lagi untuk Ukraina.