"Lebih dari sekadar menyeimbangkan hubungan-hubungan utamanya, apa yang India coba lakukan dalam geopolitiknya adalah menjembatani perbedaan. Ini berlaku, baik untuk perpecahan Timur-Barat maupun Utara-Selatan,” tambahnya.
Pada pertemuan tahun lalu, Uni Afrika juga menjadi anggota tetap G20, yang dipandang sebagai cara untuk menyoroti pentingnya memasukkan "Global South” ke dalam forum-forum multilateral.
Para pengamat di India mengatakan bahwa KTT G20 di New Delhi berhasil memperkuat citra negara mereka sebagai kekuatan diplomatik dan ekonomi yang berkembang di panggung global, terutama pada saat dunia sedang menghadapi berbagai krisis geopolitik dan ekonomi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Selama masa presidensi G20 Indonesia setahun sebelum India, para pemimpin G20 berkumpul di pulau Bali yang indah.
KTT berlangsung di tengah munculnya keraguan terkait efektivitas dan kegunaan kelompok ini, menyusul invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, yang berhasil menyebabkan perpecahan di tubuh G20.
Ini adalah salah satu periode presidensi G20 yang penuh ketegangan sepanjang sejarah kelompok ini.
Namun, Presiden Indonesia saat itu, Joko Widodo, bertekad menjadikan kepemimpinan G20 itu sebagai puncak pencapaian dalam masa kepresidenannya. Dan pada akhirnya, hasil dari KTT tahun itu sungguh melebihi ekspektasi, dan menandai sebuah keberhasilan diplomatik bagi Jakarta.
Para peserta berhasil mencapai kesepakatan pada sebuah deklarasi final yang disusun dengan hati-hati, yang menyatakan bahwa "sebagian besar anggota dengan tegas mengecam perang di Ukraina dan menekankan bahwa perang tersebut menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperparah kerentanan yang sudah ada dalam ekonomi global.”
Tantangan unik dan kompleks
Peneliti CSIS, Dzakwan, mengatakan bahwa setiap presidensi G20 menghadapi tantangan-tantangan yang unik dan semakin kompleks.
Ia mencatat bahwa presidensi Indonesia pada 2022 sangat terbebani oleh perang Rusia-Ukraina, sementara India tahun lalu harus menghadapi ekskalasi ketegangan di Timur Tengah selain konflik di Ukraina.
Dzakwan berpendapat bahwa tantangan-tantangan seperti itu akan terus meningkat, terutama dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, setelah berhasil meraih kemenangan besar dalam pemilihan presiden (Pilpres) AS 2024.
"Ini tidak akan pernah mudah, terutama sejak kepresidenan pertama Donald Trump. Hal ini menunjukkan bahwa multilateralisme tidak terlalu efektif, melainkan lebih bersifat transaksional,” katanya kepada DW.
Arti Ekawati dari DW Indonesia dan Murali Krishnan dari New Delhi turut berkontribusi dalam artikel ini.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris