News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

'Kakek saya adalah pembunuh massal terbesar dalam sejarah' — Kesaksian cucu komandan Nazi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

'Kakek saya adalah pembunuh massal terbesar dalam sejarah' — Kesaksian cucu komandan Nazi

Kai sedang menyimak pelajaran sejarah di bangku kelas 6 SD ketika guru sejarahnya menyebut nama yang menarik perhatiannya: Rudolf Höss. Orang yang memimpin kamp konsentrasi Auschwitz dan melakukan pembantaian terbesar dalam Perang Dunia Kedua ini memiliki nama belakang yang sama dengannya.

"Tentu saja saya mulai penasaran karena terdengar familier," kata Kai Höss kepada program BBC Outlook.

“Saya menyadari itu adalah nama belakang keluarga kami, dengan ejaan yang sama seperti yang tertera di akta kelahiran saya.”

Namun yang tidak pernah disangka Kai adalah rasa penasarannya akan mengungkap rahasia keluarga yang paling mengerikan: "'Ya,' kata ibuku, 'dia adalah kakekmu.'"

Menurut kesaksian Rudolf Höss sendiri dalam sidang yang bersejarah di Nuremberg—tempat sebagian besar pemimpin Nazi diadili atas aksi mereka selama Holokos—lebih dari 1.130.000 orang, sebagian besar adalah Yahudi, tewas dibunuh di Kamp Auschwitz.

Kai terhenyak ketika menyadari bahwa dirinya adalah keturunan langsung dari dalang pembantaian tersebut.

“Sungguh mengejutkan. Siapa yang ingin memiliki kakek seperti itu?”

“Semula saya merasa malu, bersalah, terkejut dan tak percaya. Siapa yang mau punya kakek seperti Rudolf Höss?”

“Ini adalah kenyataan yang mengerikan dan sangat sulit bagi saya untuk memahami bahwa saya berhubungan dengan seseorang yang melakukan itu,” kata Kai.

Kini, setelah menjalani profesi sebagai seorang manajer hotel yang ambisius hingga menjadi pendeta evangelis di Jerman, Kai Höss menuturkan bagaimana dia akhirnya menghadapi masa lalu kelam keluarganya.

BBC News Indonesiahadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Masa kecil yang normal

Kai Höss melalui masa kecil layaknya anak-anak pada umumnya. Dia menghabiskan banyak waktu bermain di halaman rumah.

Sama sekali tak ada soal fasisme atau ideologi Nazi disebut-sebut oleh keluarganya.

"Faktanya, ayah saya selalu sangat lembut, orang yang sangat pendiam. Saya harus berusaha keras untuk mendapatkan senyuman atau jawaban ya atau tidak darinya."

Kai mengatakan bahwa justru karena sifat pendiam ayahnya, Hans Jürgen Höss, dia tidak pernah mengetahui masa lalu atau tentang masa kecil sang ayah.

"Saya rasa, saya hanya sekali mendengar dia mengatakan bahwa dia teringat sesuatu ketika Paman Heiney, yaitu Heinrich Himmler—komandan pasukan Nazi—datang dari Berlin untuk membawakannya beberapa mainan untuk Natal ."

"Saya tidak tahu seberapa banyak yang saya ingat, maksud saya, [ayah saya] berusia 6 atau 7 tahun ketika semua ini terjadi."

Beberapa penyebutan yang Hans sampaikan kepada Kai tentang kakeknya cenderung berasal dari seorang ayah yang penuh kasih sayang: "Ayah saya memiliki pengalaman yang baik dengan ayahnya; misalnya, mereka naik perahu di sungai, dan kisah itulah yang dia bagikan kepada kami.”

Sementara, Kai menggambarkan sang ibu sebagai "sangat giat, selalu menjaga kesan baik di kota kecil tempat semua orang saling mengenal."

Itu sebabnya Kai tidak pernah membayangkan apa yang akan dia temukan ketika dia mulai membaca salinan memoar kakeknya yang disimpan ibunya di rumah.

Kenangan Auschwitz

Dalam periode antara menunggu eksekusi hingga digantung di sebelah krematorium Auschwitz I pada April 1947, Rudolf Höss menulis otobiografinya.

Dalam memoarnya, Höss menggambarkan kengerian yang menjadi tanggung jawabnya selama empat tahun bertugas di Auschwitz:

Kami membahas cara dan metode pemusnahan.

Hal ini hanya dapat dilakukan dengan gas, karena sangat mustahil untuk menyingkirkan sejumlah besar orang dengan tembakan. Hal ini akan menjadi beban yang sangat besar bagi pasukan SS (pasukan keamanan Nazi) yang bertanggung jawab melakukan hal tersebut, terutama karena adanya perempuan dan anak-anak di antara para korban.

Setelah Kai menyadari bahwa dia adalah cucu komandan Auschwitz, dia menemukan salinan memoar kakeknya yang disimpan sang ibu selama bertahun-tahun.

Kai mengatakan bahwa meskipun ayahnya mengatakan yang sebenarnya kepada ibunya, dia tidak pernah secara terbuka membahas apa yang dia anggap memalukan.

Itu sebabnya ketika Kai menemukan buku itu, ibunya mendorongnya untuk membacanya.

“Hati saya hancur ketika saya membaca pernyataannya dan hal-hal yang dia katakan dengan cara yang dingin dan klinis ,” kenangnya.

"Saat orang melakukan sesuatu, mereka cenderung membenarkannya, dan kita bisa membenarkan hampir semua hal, bukan? Dan dia membenarkannya."

Emosi membanjiri Kai: "Malu, bersalah, tidak percaya. Sulit bagi saya untuk memahami bahwa saya memiliki hubungan dengan seseorang yang melakukan hal seperti itu.”

Cucu sang komandan Nazi

Seolah kebingungan belum cukup dalam kehidupan muda Kai, tak lama setelah mengetahui kebenaran tentang keluarganya, orang tuanya memutuskan untuk bercerai.

“Itu adalah perceraian yang sangat rumit,” kenang Kai, “dengan perintah penahanan dan sebagainya.”

“Dan kami, sebagai anak-anak, terlibat dalam situasi itu. Tanpa [perceraian] ini, mungkin kami bisa membicarakan semuanya, namun ketegangan terus-menerus antara orang tua saya menghalangi segalanya.”

Masa lalu yang kelam itu, ditambah karier yang menjanjikan di industri perhotelan, membuat Kai menjauh dari Jerman selama lebih dari 30 tahun.

Dia menikah, berkeliling dunia, dan tinggal di AS selama beberapa tahun. Dia selalu menghindari kembali pulang ke kampung halaman.

"Itu ada hubungannya dengan perceraian orang tua saya. Begitu banyak hal yang hancur dan hubungan saya dengan ibu saya sangat sulit, dan saya tidak ingin membawa keluarga saya ke dalam dinamika keluarga yang hancur ini."

Selama 30 tahun itu, Kai tidak pernah berbicara dengan ayahnya.

Alasannya, Kai merasa ayahnya telah mengkhianati sang ibu karena telah berselingkuh.

Hans kemudian mengganti namanya, dan hampir 30 tahun kemudian saat Kai kembali ke Jerman, teleponnya berdering.

"Saya tidak mengenali nomornya. Saya bertanya siapa nomornya dan dia berkata 'Saya ayahmu.'"

Kai mengatakan bahwa meskipun sulit memahami apa yang terjadi selama ini, mendengar kabar ayahnya lagi adalah kesempatan yang ingin dia manfaatkan.

"Ketika dia menelepon saya, saya ingin marah kepada pria ini.”

"Saya merasa tidak enak, tapi saya pikir, dia ayah saya, dan saya mencintainya. Dia sudah tua sekarang, dia berusia 80-an, mari kita membangun hubungan."

Kembali ke Auschwitz

Berusaha untuk menghadapi masa lalunya, Kai dan ayahnya yang berusia 87 tahun, Hans Jürgen Höss, memutuskan untuk menjadi bagian dari film dokumenter "The Commander's Shadow" dan menceritakan kisah mereka.

Dalam film layar lebar yang ditayangkan perdana di Festival Film Sedona, ayah dan anak ini menghadapi trauma antargenerasi akibat tindakan Rudolf saat bertemu dengan salah satu korban Auschwitz .

“Hal yang paling berkesan bagi saya, yang menyentuh hati saya, adalah bertemu dengan perempuan ini, yang berusia 90 tahun, yang menderita di kamp konsentrasi, dan mengajaknya berada di rumah kami dan minum kopi bersama, serta melihatnya tersenyum.

"Sadarilah bahwa ada rekonsiliasi, pengertian, pengampunan, cinta. Ya, itu bisa dicapai."

Selain itu, Kai dan Hans mengunjungi Auschwitz.

"Minggu itu saya patah hati. Saya menangis setiap hari di waktu yang berbeda. Melihat tempat ini, benda ini, yang diciptakan kakek saya untuk memusnahkan orang.

“Kami mencatat di peron tempat kereta tiba dengan orang-orang Yahudi dari seluruh Eropa, mereka dipindahkan seperti ternak ke Auschwitz, ada yang meninggal karena kondisi perjalanan.

"Itu adalah salah satu luka terdalam yang masih membekas di hati saya."

Yang lebih menyakitkan lagi adalah pengalaman Hans, yang membaca kutipan dari buku ayahnya untuk pertama kali dan mengunjungi tempat ayahnya dibawa ke tiang gantungan, dihukum karena kejahatannya terhadap kemanusiaan.

“Anda bisa melihatnya menangis,” kenang Kai tentang ayahnya saat berkunjung ke Auschwitz.

"Dia berdiri diam di sana dengan alat bantu jalannya dan mengatakan sesuatu seperti 'ayahku mendapat hukuman yang adil atas kejahatannya’.”

Kai mengatakan dia sudah membicarakan kejahatan kakeknya dengan kedua anaknya, yang berusia 12 dan 7 tahun, dan berharap percakapan ini tetap terbuka dengan mereka di masa depan, karena dia yakin penting untuk menjaga pengalaman Holokos tetap hidup untuk mencegahnya terulang kembali.

*Artikel ini diadaptasi dari wawancara Jo Fidgen dan diproduksi oleh Julian Siddle untuk program BBC Outlook. Jika Anda ingin mendengar versi aslinya dalam bahasa Inggris, Anda dapat menyimaknya di sini.

Klik di sini untuk membaca lebih banyak cerita dari BBC News Indonesia.

Anda juga dapat mengikuti kami di YouTube, Instagram, TikTok, X, Facebook, dan channel WhatsApp kami.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini