TRIBUNNEWS.COM - Menurut laporan tahunan yang diterbitkan oleh kelompok Pemantau Ranjau Darat dan Bom Curah, jumlah orang yang terbunuh atau terluka akibat ranjau darat dan sisa-sisa bahan peledak perang meningkat tajam pada 2023.
Laporan tersebut mencatat lebih dari 5.700 korban di seluruh dunia, dengan Myanmar mencatat jumlah tertinggi.
"Setidaknya 1.983 orang tewas dan 3.663 orang terluka di 53 negara. Warga sipil merupakan 84 persen dari total korban, dengan anak-anak menyumbang 37 persen," ungkap laporan tersebut, dikutip dari Al Jazeera.
Myanmar menjadi negara dengan jumlah korban ranjau darat yang signifikan, dengan lebih dari 1.000 laporan korban.
Negara ini tidak menjadi pihak dalam Perjanjian Larangan Ranjau, yang melarang penggunaan ranjau antipersonel.
Setelah Myanmar, Suriah tercatat memiliki jumlah korban tahunan tertinggi selama tiga tahun terakhir, diikuti oleh Afghanistan dan Ukraina, yang masing-masing melaporkan lebih dari 500 korban.
Laporan tersebut menekankan, ranjau darat adalah senjata yang tidak pandang bulu.
"Ranjau tidak mungkin dikerahkan untuk menargetkan orang tertentu, sehingga korban bisa jatuh pada siapa saja yang memicu ranjau," jelas laporan itu.
Namun, tidak semua kematian dan cedera terkait ranjau darat didokumentasikan, sehingga angka sebenarnya kemungkinan lebih tinggi.
Baca juga: Biden Setujui AS Pasok Ranjau Darat ke Ukraina, Bertujuan Hentikan Kemajuan Pasukan Rusia
Negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Korea Utara dituduh terus memasang ranjau baru, melanjutkan tren yang telah diamati dalam beberapa tahun terakhir.
Negara-negara ini belum menandatangani Perjanjian Ottawa, yang melarang penggunaan, penimbunan, produksi, dan transfer ranjau antipersonel.
Perjanjian tersebut telah berlaku sejak 1999 dan diikuti oleh 164 negara, meskipun negara besar seperti Amerika Serikat, Israel, dan Rusia tidak menjadi pihak dalam perjanjian ini.
Washington dilaporkan siap menyediakan ranjau darat ke Ukraina.
"Kami mengutuk keputusan mengerikan AS ini dan berjanji untuk mendorong agar keputusan itu dibatalkan," kata ICBL dalam pernyataan kepada kantor berita AFP.
Kelompok lobi tersebut juga meminta Ukraina untuk menyatakan mereka tidak dapat dan tidak akan menerima senjata ini.
Laporan ini menunjukkan, ranjau darat terus menjadi ancaman serius di berbagai negara, termasuk Myanmar, yang membutuhkan perhatian global untuk mengurangi jumlah korban dan meningkatkan keamanan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)