Ketika rumor pertama kali muncul pada Oktober silam bahwa pasukan Korea Utara akan mulai mendukung Rusia dalam perang melawan Ukraina, belum jelas apa peran mereka dalam perang yang berkecamuk tersebut.
Kala itu, mereka diprediksi hanya ditugaskan untuk peran non-tempur, mengingat kurangnya pengalaman mereka di pedang perang.
Namun setelah AS dan Ukraina mengungkap fakta bahwa pasukan Korea Utara terlibat langsung dalam pertempuran dengan tentara Ukraina, peran mereka dalam perang itu kemudian jadi sorotan.
Jumlah pasukan Korea Utara yang dikerahkan—semula diperkirakan sebanyak 11.000 orang oleh Pentagon—diperdebatkan.
Menurut Bloomberg, sumber yang tak disebutkan namanya meyakini Pyongyang telah mengerahkan sebanyak 100.000 tentara.
Namun, informasi yang akurat sulit diperoleh karena Moskow dan Pyongyang belum menanggapi secara langsung laporan ini.
Jadi apa yang kita ketahui tentang kehadiran pasukan Korea Utara di Rusia?
Seberapa efektif pasukan ini?
Singkatnya, sulit untuk dipastikan.
Negara yang tertutup itu mungkin memiliki salah satu pasukan militer terbesar di dunia, dengan 1,28 juta tentara aktif.
Namun, tak seperti militer Rusia, Tentara Rakyat Korea tidak memiliki pengalaman terkini dalam operasi tempur.
Mark Canciandari Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), meyakini tentara Pyongyang “sangat terindoktrinasi namun memiliki kesiapan tempur yang rendah”.
Meskipun demikian, menurutnya, mereka tidak dapat dianggap remah.
Badan intelijen Ukraina dan Korea Selatan mengatakan bahwa banyak pasukan yang dikerahkan ke Rusia merupakan pasukan terbaik Pyongyang.
Mereka diambil dari Korps ke-11, yang juga dikenal sebagai Korps Badai—sebuah unit yang dilatih untuk melakukan infiltrasi, sabotase infrastruktur, dan pembunuhan.
Tentara-tentara ini “dilatih untuk menahan rasa sakit fisik dan penyiksaan psikologis yang berat”, kata Michael Madden, pakar Korea Utara dari Stimson Center di Washington.
“Apa yang kurang dari mereka dalam pertempuran, mereka tutupi dengan apa yang dapat mereka toleransi secara fisik dan mental,” imbuhnya.
Cancian setuju bahwa “jika ini adalah pasukan operasi khusus, mereka [Korps Badai] akan jauh lebih siap daripada unit Korea Utara pada umumnya".
"Lebih jauh lagi, Rusia tampaknya memberi mereka pelatihan tambahan, kemungkinan pada situasi khusus perang di Ukraina,” tambahnya.
Hal ini tampaknya didukung oleh munculnya video di media sosial yang menunjukkan beberapa pria yang diyakini warga Korea Utara mengenakan seragam pasukan Rusia, di tempat yang tampaknya merupakan fasilitas pelatihan militer di Rusia.
Dan saat perang di Ukraina memasuki tahun ketiga, pasukan Korea Utara ini mungkin termasuk di antara "pasukan yang paling mampu" di antara pasukan yang tersedia bagi Rusia, kata Chun In-bum, pensiunan letnan jenderal tentara Korea Selatan.
Moskow telah merekrut sedikitnya 20.000 tentara baru setiap bulan untuk membantu memperkuat pasukannya, dengan lebih dari 1.000 tentara Rusia tewas atau terluka rata-rata setiap hari, menurut pejabat NATO dan militer di Barat.
“[Rusia] telah mengirim pasukan ke garis depan tanpa pelatihan yang memadai. Dibandingkan dengan [pasukan] rekrutan tersebut, pasukan Korea Utara terlatih dan termotivasi. Mereka saat ini belum teruji dalam pertempuran, tetapi itu bukan inti masalahnya,” kata Letnan Jenderal (purn) Chun.
Meskipun demikian, beberapa pakar meyakini kendala bahasa yang nyata dan ketidaktahuan terhadap sistem Rusia akan mempersulit peran tempur apa pun,
Mereka menyarankan bahwa pasukan Pyongyang akan dimanfaatkan berdasarkan kemampuan teknik dan konstruksi mereka.
Mengapa Korea Utara terlibat dalam Perang Rusia-Ukraina?
Mengingat kerugian ini, apa keuntungan kesepakatan ini bagi kedua negara?
Para pengamat mengatakan Moskow membutuhkan sumber daya manusia, sementara Pyongyang membutuhkan uang dan teknologi.
“Bagi Korea Utara, [penempatan pasukan seperti itu] merupakan cara yang baik untuk mendapatkan uang,” kata Andrei Lankov, direktur Korea Risk Group.
Intelijen Korea Selatan memperkirakan bayaran yang diterima sebesar US$2.000 (sekitar Rp31,6 juta) per prajurit per bulan, dengan sebagian besar uang ini diperkirakan akan masuk ke kas negara.
Pyongyang juga dapat memperoleh akses ke teknologi militer Rusia, yang jika tidak dalam kondisi seperti saat ini, Moskow enggan mentransfernya, imbuh Lankov.
Masalah sumber daya manusia di Moskow telah banyak dilaporkan, dengan AS memperkirakan bahwa sekitar 600.000 tentara Rusia telah tewas atau terluka sejak invasi negara itu ke Ukraina pada 2022.
Pada September silam, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan perintah—ketiga kalinya sejak perang dimulai—untuk menambah pasukannya.
Rusia juga menerapkan strategi yang “meminimalkan dampak politik dalam negeri”, seperti menawarkan bonus kepada [tentara] rekrutan yang menjadi relawan dan merekrut orang asing dengan janji kewarganegaraan, kata Cancian dari CSIS.
"Dengan Rusia dilaporkan menderita lebih dari 1.000 korban di medan perang, mengurangi kerugiannya sendiri dapat meringankan tekanan pada rezim Putin," kata Lami Kim, seorang profesor Studi Keamanan di Daniel K Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies.
Apa tanggapan Korea Selatan?
Perkembangan ini, yang terjadi pada saat ketegangan di semenanjung Korea memanas dalam beberapa tahun, membuat Seoul khawatir.
Pada Oktober, Korea Utara meledakkan bagian dari dua jalan yang menghubungkannya dengan Korea Selatan, beberapa hari setelah menuduh Seoul menerbangkan pesawat tak berawak ke ibu kota Korea Utara, Pyongyang.
Hal itu terjadi setelah kedua negara terlibat saling balas pengiriman balon dan propaganda ke masing-masing wilayag.
Korea Selatan dan Utara juga telah menangguhkan pakta yang bertujuan untuk menurunkan ketegangan militer di antara mereka, tak lama setelah Korut mengatakan bahwa Korea Selatan sekarang menjadi “musuh nomor satu”.
Jadi, masuk akal jika Korea Selatan merasa tidak nyaman dengan Korea Utara yang memperoleh kekuatan militer baru di tengah ketegangan ini.
Lagipula, pasukan di Korea Selatan juga tidak pernah bertempur dalam konflik besar lainnya sejak Perang Korea.
Menurut Madden dan Cancian, diperkirakan pasukan Korea Utara dikerahkan di sekitar wilayah perbatasan Kursk, yang coba direbut kembali oleh Moskow dari Ukraina.
Korea Selatan khawatir bahwa “musuhnya bisa saja memiliki kemampuan yang lebih kejam” sebagai akibat dari pengalaman yang akan diperoleh prajuritnya di medan perang, kata Letnan Jenderal (purn) Chun.
Ia juga menyatakan “kekhawatiran mendalam” atas pakta antara Pyongyang dan Moskow, yang berjanji bahwa kedua negara akan saling membantu jika terjadi “agresi” terhadap salah satu negara.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol telah menegaskan kembali—setidaknya tiga kali dalam dua bulan terakhir—bahwa Korea Selatan akan mempertimbangkan untuk membantu Ukraina "untuk tujuan pertahanan".
Jika ini terjadi, ini akan menandai perubahan dari kebijakan lama Korea Selatan untuk tidak memasok senjata ke negara-negara yang terlibat dalam konflik aktif.