News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Bercocok Tanam Kentang di Udara

Editor: Budi Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bercocok tanam kentang di udara.

TRIBUNNEWS.COM.BANDUNG- Pernahkah membayangkan memanen kentang seperti memanen anggur karena rangkaian umbi yang akan kita petik menjuntai jauh dari tanah? Pemandangan seperti itu ternyata ada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat.

Didominasi warna putih, bangunan screenhouse itu berdiri di lahan seluas 360 meter persegi di Desa Tugu Mukti, Cisarua, Lembang. Di dalam screenhouse dengan dua pintu berlapis. Di sinilah tak kurang dari 3.650 bibit kentang ditanam. Saat Tribun berkunjung ke sana, Selasa (16/12/2014), umbi-umbi kentang sudah mulai membesar, bergelantungan di antara serabut akar yang menjuntai.

Seperti tanaman kentang pada umumnya, tanaman kentang di tempat ini juga memiliki bentuk daun yang khas dan lebar-lebar. Batang pohonnya hijau setinggi satu hingga satu setengah meter. Namun, tak ada yang menyentuh tanah.

Adalah PT East West Seed Indonesia (Ewindo) yang mengembangkan teknik budi daya ini di sana. Dalam dunia pertanian, teknik ini dikenal dengan sebutan aeoroponik, atau dalam bahasa yang lebih sederhana: bercocok tanam di udara.

Di dalam aerponik, tanaman memang tidak diberi media untuk tumbuhnya akar, melainkan dibiarkan terbuka, menggantung pada suatu tempat yang dijaga kelembabannya. Dengan teratur, akar dan tubuh tanaman yang terbuka ini disemprot dengan larutan pupuk yang mengandung nutrisi tanaman.

Karena akar tumbuhan dibiarkan terbuka, maka pengambilan oksigen menjadi jauh lebih lancar. Dampaknya, metabolisme tumbuhan juga akan berlangsung jauh lebih cepat. Ini berarti, pertumbuhan juga akan berlangsung lebih cepat, hingga tanaman lebih cepat besar dan menghasilkan.

Teknik aeoroponik sendiri sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Namun, penggunaannya untuk budi daya kentang baru dimulai beberapa waktu terakhir. Di Indonesia, di Lembang inilah yang pertama.

Glen, Managing Director PT Ewindo, mengatakan teknik ini mereka gunakan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi persoalan utama petani kentang Indonesia, yakni ketersediaan benih berkualitas. Dari total kebutuhan benih kentang nasional sebesar lebih kurang 130 ribu ton per tahun, ketersediaan benih berkualitas dan bersertifikat ia perkirakan masih kurang dari 15 persen.

"Hal ini menjadi salah satu pemicu rendahnya produktivitas kentang nasional, dengan rata-rata panen 15 ton per hektare," kata Glen di area Produksi Aeroponik Benih Kentang G-0 di Desa Tugu Mukti, Cisarua, Lembang, Selasa (16/12).

Dengan teknologi aeroponik ini, pada tahap awal, sekitar 214 ribu umbi mini (minituber) mampu dihasilkan setiap tahunnya. Penggunaan teknologi ini juga membuat umbi yang dihasilkan lebih banyak, bebas dari hama dan penyakit, serta terjamin kontinuitas produksinya.
"Kami berkomitmen membantu petani dengan menyediakan benih berkualitas dengan target awal produksi sekitar 800 ton benih kentang sebar per tahun. Diperkirakan, produktivitas benih ini bisa mencapai 25 sampai 25 ton per hektare," katanya.

Untuk mewujudkan ini, ujarnya, PT Ewindo bekerjasama dengan Syngenta Foundation. Bersama Syngenta Foundation inilah, mereka menghadirkan pakar aeroponik kentang ke tanah air. "Pengadaan benih umbi kentang menggunakan teknologi aeroponik ini yang pertama kali di Indonesia," katanya.

Teddy H Tambu Program, Director Syngenta Foundation, mengatakan teknologi aeroponik sudah banyak dikembangkan di Korea Selatan. Di Indonesia, teknologi ini belum banyak dilakukan. Padahal dengan teknologi ini bisa menghasilkan benih berkualitas karena dalam menerapkan cara ini benar-benar terpantau agar terbebas dari hama dan penyakit.

Penerapan teknologi aeroponik ini, ujarnya, sebenarnya sangat sederhana. Pengadaan peralatannya juga mudah. Khusus untuk pembibitan kentang, syarat utama yang dibutuhkan adalah lokasi dengan ketinggian dan suhu udara yang sesuai dengan karakter kentang. Agar suhu udara konsisten dan hama penyakit tak mudah masuk, budidaya dilakukan di dalam screenhouse.

"Suhu di dalam area ini harus diukur setiap hari, setiap empat jam sekali. Suhunya memang harus stabil, tidak boleh kurang dari 15 derajat dan tidak lebih dari 30 derajat celcius," terang Teddy.

Karena tidak ditanam dalam tanah, benih ini bisa disemprot dengan nutrisi dengan pengaturan 5 menit "on" dan 10 menit "off".

Meski tidak ditanam dalam tanah, akar benih harus tetap tertutup agar tidak terkena sinar matahari langsung. Karenanya akar yang tumbuh akan menjuntai di dalam kotak  yang tertutup terpal berwarna gelap atau hitam. Ini, ujarnya, harus diperhatikan, karena kalau cahaya masuk, tidak akan menjadi umbi tapi hanya akan menjadi batang dan berdaun.

"Mungkin  pada tahap awal ini terkesan rumit. Tapi penerapan ini sebenarnya cukup mudah. Yang dibutuhkan hanyalah ketekunan dan kedisiplinan petani," katanya.(Siti Fatimah)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini