TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman pada kelestarian spesies gajah sumatera kian besar, yang diperkuat analisis asam deoksiribonukleat atau DNA yang menunjukkan variasi genetik gajah sumatera rendah. Satwa itu pun berisiko terserang penyakit bawaan yang bisa menyulitkan upaya peningkatan populasi.
Itu hasil terkini analisis data genetik individu-individu gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. "Hati-hati, variasi genetiknya rendah. Itu jelek buat konservasi," kata Wakil Kepala untuk Penelitian Fundamental LBM Eijkman, Prof Herawati Sudoyo, Kamis (11/8/2016), di Jakarta.
Ia mengungkap itu dalam presentasi "Teknik Molekuler dalam Konservasi Gajah dan Pengungkapan Perdagangan Ilegal Satwa Liar" pada diskusi "Konservasi Gajah pada Bentang Alam yang Terus Berubah: Teknik Molekuler untuk Studi Ekologi, Mitigasi Konflik, dan mengungkap Perdagangan Ilegal Satwa Liar". Acara diadakan LBM Eijkman, WWF-Indonesia, dan Forum Konservasi Gajah Indonesia, memperingati Hari Gajah Internasional, 12 Agustus.
Ekolog Satwa Liar WWF-Indonesia, Sunarto, mengatakan, penyakit akibat perkawinan sedarah gajah belum diketahui pasti. Namun, pada manusia dan satwa lain, perkawinan sedarah biasanya menimbulkan penyakit yang mestinya resesif (tidak muncul) jadi muncul sehingga menurunkan kualitas hidup. Tak perlu muncul penyakit pada gajah akibat perkawinan sedarah.
Sampel kotoran
Demi mengetahui tingkat keanekaragaman genetik gajah sumatera, LBM Eijkman menganalisis DNA menggunakan marka (penanda) DNA autosom dan DNA mitokondria, dari sampel kotoran gajah. Herawati mengatakan, idealnya analisis menggunakan sampel darah, tetapi mengingat gajah terus bergerak dan petugas akan kesulitan membius hewan sebesar itu, kotoran jadi pilihan terbaik.
WWF-Indonesia mengumpulkan sampel kotoran gajah TNTN, 2013-2015. Sebanyak 377 sampel kotoran diekstraksi dan diamplifikasi menggunakan 13 lokus penanda mikrosatelit. Ada 148 genotipe unik. "Berarti, setidaknya minimal ada 148 individu di Tesso Nilo," ujar Herawati. Dari jumlah itu, LBM Eijkman mendapati 37 alel pada 13 lokus. Artinya, variasi genetiknya rendah.
Untuk keanekaragaman genetik gajah di kawasan selain TNTN, kata Herawati, LBM Eijkman masih butuh menganalisis lebih lanjut. Di TN Bukit Tiga Puluh (mencakup Riau dan Jambi), misalnya, nilai rata-ratanya 3,07 alel per lokus, atau lebih tinggi dibandingkan TNTN. Namun, Bukit Tiga Puluh terpisah secara geografis sehingga seolah mewakili dua populasi, sedangkan individu di TNTN berada dalam satu populasi.
Meski demikian, ia menduga, semakin ke selatan, keragaman genetik gajah sumatera makin rendah. Berdasarkan sampel DNA mitokondria yang terkumpul, populasi di TNTN terdiri atas tiga haplogroup (leluhur). Di selatannya, di TN Bukit Tiga Puluh, populasi terdiri atas dua haplogroup, lalu di TN Way Kambas (Lampung) satu haplogroup.
Saat ini, analisis DNA menunjukkan LBM Eijkman berhasil mengidentifikasi hampir 500 individu gajah sumatera. Artinya, masih ada 1.000-an ekor belum teridentifikasi jika mengacu perkiraan jumlah populasi yang digunakan.
Populasi turun
Saat ini, seiring beragam tekanan, populasi gajah sumatera menurun sekitar 100 individu per tahun. Listya Kusuma Wardhani, Direktur Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, populasi diperkirakan tinggal 1.724 ekor saat ini, atau 71 persen dari perkiraan jumlah di tahun 2007 (lebih kurang 2.400 ekor).
Salah satu faktor pemicu, berkurangnya luas habitat alami gajah. Data Forest Watch Indonesia, tutupan hutan di Sumatera 2013 seluas 11,34 juta hektar, menurun dibanding 2009 seluas 12,61 ha, atau berkurang 1,27 juta ha selama 4 tahun. Faktor lain, maraknya perburuan gading gajah dan konflik dengan manusia.
Data Badan Konservasi Dunia, status gajah sumatera kritis atau di ambang kepunahan. (JOG)