Kesiapsiagaan menghadapi darurat kesehatan merupakan isu yang sangat strategis bagi seluruh negara di dunia. Hal ini dikarenakan bencana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja, khususnya di negara-negara rawan bencana termasuk Indonesia.
Demikian pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani dalam Sesi Panel Diskusi 2: Perspektif Negara Mengenai Kesiapansiagaan untuk Keadaan Darurat Kesehatan pada Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Menghadapi Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat “Tantangan dan Peluang di Wilayah Perkotaan”. KTT diselenggarakan di Lyon, Perancis 3-4 Desember 2018.
Menurut Menko PMK, Indonesia terletak di sepanjang wilayah geografis yang rentan terhadap kejadian bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor. Indonesia juga rentan terhadap berbagai penyakit menular dan tropis terabaikan, yang dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat, termasuk yang berpotensi menyebabkan wabah penyakit dan pandemi.
Di sisi lain, lanjut Menko PMK, upaya pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sejumlah kota padat penduduk di Indonesia mengalami urbanisasi. Kondisi tersebut menempatkan kota-kota ini pada resiko penyakit kesehatan masyarakat yang lebih besar.
“Saya akan memberikan Anda beberapa perspektif mengenai kepadatan penduduk di kota-kota kami. Ibukota Indonesia, Jakarta, adalah kota terpadat di Indonesia dengan lebih dari 15 (lima belas) ribu orang per kilometer persegi, diikuti oleh Bandung, Yogyakarta, Solo, Tangerang, Bekasi, Banjarmasin, Surabaya, Medan, dan Bogor dengan kepadatan penduduk lebih dari 10 (sepuluh) ribu orang per kilometer persegi,” jelas Menko PMK.
Untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat, Menko PMK menjelaskan bahwa Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dan strategi yang diperlukan, terutama melalui pembangunan sistem kesiapsiagaan dan respon tanggap nasional. “Di tingkat nasional, kami memiliki lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk mengelola dan memitigasi bencana (BNPB), dan lembaga serupa di tingkat provinsi dan kabupaten,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia juga telah membentuk unit khusus, yaitu unit krisis kesehatan pada Kementerian Kesehatan, yang didukung oleh unit-unit serupa di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota di seluruh Indonesia. Unit Krisis Kesehatan dilengkapi dengan Pusat Operasi Darurat (Emergency Operation Center) yang didukung oleh Pusat Darurat Kesehatan Masyarakat (Public Health Emergency Operation Center).
Tingginya tingkat kedaruratan kesehatan, terutama di daerah perkotaan, lanjut Menko PMK, mendorong Kementerian Kesehatan untuk melakukan terobosan penting terkait perampingan layanan darurat kesehatan, yang dikenal sebagai 119 Emergency Service. Layanan ini memungkinkan warga untuk menghubungi dan mendapatkan layanan medis darurat menggunakan kode akses 119 gratis.
Menurut Menko PMK, ini adalah upaya kerja sama yang dilakukan antara pemerintah nasional dan kabupaten/ kota yang mengintegrasikan layanan dibawah Pusat Komando Nasional (National Command Center/NCC) yang terletak di Kementerian Kesehatan dan Pusat Keamanan Publik (Public Safety Center/PSC) yang terletak di daerah.
“Saya akan menyimpulkan pernyataan ini dengan menekankan pada pentingnya penguatan kapasitas dari seluruh negara anggota WHO, baik di tingkat nasional hingga tingkat daerah dengan menggunakan pendekatan multisektor dan One Health principles dalam impelementasi kesiapsiagaan dan tanggap terhadap keadaan darurat kesehatan masyarakat,” kata Menko PMK.
Hadir dalam Sesi Panel 2, Wenjiang Wang, dari RRC, Mohammad Assai Ardakani dari Iran, Bryan Inho Kim dari Korea Selatan,Harinirina Raseheno dari Madagaskar, Olobunmi Ojo dari Nigeria, Vyachelsav Smolensky dari Rusia, dan Mine Yenice dari Turki. KTT WHO juga diikuti delegasi 23 negara, 8 walikota, pimpinan daerah, serta para mitra organisasi internasional. (*)