TRIBUNNEWS.COM - Presiden Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, Dr Unni Karanukara menegaskan Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) membuat jutaan orang miskin tak bisa mengakses obat murah untuk mengobati penyakit dan perjanjian ini bisa menjadi perjanjian paling berbahaya.
"Layanan kesehatan dalam kondisi sangat mengenaskan saat ini terutama jika pembatasan akses obat murah akan sangat berimplikasi besar," jelas Karunakara, dalam diskusi tertutup di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta, Selasa (27/8/2013).
Lebih lanjut ia mengatakan, MSF sebagai lembaga kemanusiaan internasional yang memberikan bantuan kesehatan untuk korban perang, konflik, epidemi, dan bencana alam di 70 negara di dunia. Untuk itu, MSF membutuhkan obat-obatan yang bisa diakses dengan harga terjangkau.
Karena itu, Karunakara meminta kepada negara-negara yang tergabung dalam TPP agar menolak ketentuan-ketentuan yang bisa menghambat akses obat murah bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang.
Karunakara beralasan, dengan TPP yang diberi label model perjanjian perdagangan abad ke-21, akan menjadi standar global di dunia dan orang-orang tak bisa lagi mendapatkan perawatan kesehatan memadai karena harga obat melambung tinggi.
Sebagai contoh, saat ini MSF sedang menyediakan perawatan antiretroviral (ARV) untuk penderita HIV/AIDS pada tahun 2000 dan memakan biaya 10 ribu dollar AS atau sekitar Rp 100 juta untuk satu pasien setiap tahunnya. Kini, harga obat HIV generik hanya USD 150 per pasien per tahun, berkat adanya kompetisi obat generik.
"Karena itu kami berkunjung ke sejumlah negara-negara dan menemui pengambil keputusan dan menyuarakan keluhan kami terkait perjanjian yang sangat merugikan bagi penyediaan akses murah bagi masyarakat miskin atau ekonomi lemah," jelas pria yang pernah bertugas di departemen kesehatan MSF di Amsterdam, Belanda.