News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kiat Sehat Ala dr Eka Julianta: Tiap Hari Naik Turun Lift ke Lantai 6

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kepala Neuro Science Center RS Siloam Karawaci Prof Dr dr Eka Julianta Wahjoepramono SpBS

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagai seorang spesial bedah syaraf otak yang sudah termasyhur, Prof Dr dr Eka Wahjoepramono SpBS, tahu betul cara menjaga kesehatan tubuhnya.

Meskipun ia bekerja lebih dari orang kebanyakan, rata-rata 17-18 jam dalam sehari, setiap harinya, dr Eka, tetap fit dan sehat. Wajahnya pun tetap ceriah, dan pembawaannya ramah.

Apa sih rahasia kesehatan dokter bertubuh tegap ini? Yuk kita simak. Berbicang-bincang dengan TRIBUNnews.com, di ruang kerjanya, Jumat (8/11), dokter Eka mengatakan, resepnya untuk menjaga kesehatan tubuhnya cukup mudah, yaitu dengan berolahraga di sela kesibukannya.

"Saya naik turun tangga setiap harinya, saya nggak pernah ada waktu khusus (untuk berolahraga). Jadi setiap hari, naik-turun tangga, tidak pakai lift. Kecuali Sabtu dan Minggu saya renang," ujar dokter Eka.

Kepala Neuro Science Center RS Siloam Karawaci ini mengatakan setiap harinya ia memilih naik tangga ke ruang kerjanya di lantai 6 Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tanggerang.

"Saya setiap hari masuk jam 7 pagi, pulang jam 1 dini hari. Setiap hari saya muter ke rumah sakit Siloam," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan tersebut.

Untuk kesehatan otak, menurutnya juga tidak membutuhkan perawatan khusus maupun vitamin. Hal yang penting menurutnya, kadar oksigen, dan gula cukup terkandung di dalam otak. "Otak tidak perlu vitamin, otak perlu gula, dan oksigen yang cukup, dan kolestoral yang tidak tinggi. Yang penting otak harus selalu digunakan," katanya.

Meskipun aktivitas menyita sebagian besar waktunya, keluarga, tapi dia dapat memahaminya. "Keluarga saya, mertua saya dokter, istri saya dokter, saya dokter bedah, anak saya nomor satu dokter, anak saya yang kedua dan ketiga saat ini kuliah di Fakultas Kedokteran," tuturnya.

Ia dan keluarga selalu mengupayakan dapat bertemu di setiap libur akhir pekan. "Dan BBM (Blackberry Messenger-red) harus tetap jalan. Anak saya yang di Bandung, yang tengah belajar bedah syaraf, setiap hari kerjanya berbagi kasus terus sama saya," kata dr Eka, lalu tersenyum.

Pria yang baru saja mendapat gelar Doktor dari satu universitas di Australia ini mengaku tidak pernah mendorong anaknya menjadi dokter, meskipun semua anaknya menekuni profesi yang sama dengan dirinya.
"Saya tidak pernah mendorong, kalau mereka memilih menjadi dokter ya saya setuju. Karena apa sih tujuan hidup kita? Dokter itu bisa bermanfaat bagi umat manusia, membantu orang yang menderita," katanya.

Berambisi Taklukkan Alzheimer

Setelah sukses menjadi alhi bedah syaraf otak termasyur di dunia, dr Eka mengaku sudah tidak berambisi mencari gelar akademis.
Hingga kini ia sudah mengantongi gelar profesor, dan tiga gelar Doktor, yang ia peroleh dengan nilai cumlaude. "Kalau dari akademis saya sudah mentok, tiga gelar doktor, saya rasa sudah cukup," ujar dr Eka diikuti dengan tawa lepas.

Namun ia mengaku tertarik untuk meneliti penyakit alzeimer atau juga yang sering disebut Alzheimer.
"Riset saya enam tahun lalu, ketika dapat gelar Doktor dari universitas di Australia adalah tentang kepikunan. Itu paling berat, dan masuk jurnal internasional terakreditasi, enam kalau tidak salah. Orang Indonesia yang bisa menulis ke sana langka. Itu kebanggaan luar biasa, karena susahnya setengah mati, tanpa kerja keras ga mungkin, karena editorial belasan profesor di dunia," ujar dokter kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 27 Juli 1958 itu.

Kepikunan menurutnya hingga saat ini belum diketahui penyebabnya, apalagi obatnya, dan menjadi penyakit pembunuh ketiga terbesar di dunia.

"Kepikunan saat ini menjadi pusat perhatian dunia, jika saya tidak salah, pembunuh tiga atau keempat terbesar di dunia, setelah kecelakaan, stroke, dan penyakit ini membunuhnya pelan-pelan. Sekarang didagnosa 7-10 tahun kemudian baru meninggal dunia," katanya.

Saat melakukan riset tentang kepikunan, pihaknya harus bolak-balik Indonesia dan Australia. Ia meneliti penyakit itu, untuk mencari tahu salah satu faktor yang menyumbang terjadinya kepikunan.

"Kepikunan merupakan bidang yang besar, saya mempelajari gejala awal kelupaan, saya khususukan pada laki-laki diatas 50 tahun yang hormonnya sudahh menurun," katanya.

Dalam risetnya ia meneliti 50 orang laki-laki yang bersedia menjadi sukarelawan penelitiannya, dan juga kepada hewan marmut.

"Kami melakukan terapi double blind randomise, 25 di antaranya diberikan obat testoteron, yang kelompok 25 orang lainnya diberikan placebo. Dan setelah menjalani lima bulan, dua kelompok itu ditukar, dan diperiksa setiap bulan," katanya.

Dari ke 50 orang pria itu, empat diantaranya kemudia memutuskan mengundurkan diri. Untuk tes kepada manusia dilakukan di Indonesia, sementara kepada binatang dilakukan di Australia.

"Hasil akhirnya, orang yang hormonnya turun, memorinya turun, dan harus diterapi dengan hormon subtitusi, menambah hormon testosteron para pria," katanya.

Namun terapi itu hanya bisa berlaku bagi mereka yang menderita kepikunan ringan, dan tidak bagi mereka yang menderita kepikunan berat. "Semua orang harus periksa, khususnya yang seperti ini, maka ada brain checkup, itu signifikan," jelasnya. Terapi ini juga berbeda jika diterapkan kepada wanita.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini