News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kanker Bukan Vonis Mati

Apa yang Membuat Mereka Tidak Menyerah Pada Kanker ?

Penulis: Budi Prasetyo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

testimoni penderita kanker asal Indonesia yang berhasil sembuh kembali setelah memperoleh perawatan di FUDA Cancer Hospital Ghoangzho


TRIBUNNEWS.COM  JAKARTA - Testtimoni atau pengakuan  dari mereka yang berhasil  melawan kanker  ini merupakan ungkapan pasien asal Indonesia  yang berhasil disembuhkan  dari kanker yang dilakukan  di rumah sakit  FUDA  Cancer Ghuangzho China  dan berhasil diungkap melalui  buku “ Kami  Berani Melawan Kanker “ yang diangkat oleh sang penulisnya Riska Siagian.

Berikut  penuturan dari mereka  yang  berhasil sehat kembali dan terbebas dari kanker.
 
Melawan  Sel  Kanker dengan  Keyakinan sembuh

Ungkapan ini diutarakan  DR Tjan Kian Seng  pria berusia  78 tahun yang menderita  kanker paru- paru  dimana  dikatakan Tjan, “ Semangat hidup harus tinggi, kami harus selalu berjuang,  We must fight back. Apapun bentuknya , We must  fight  back “

Semangat menumpas habis sel kanker  membuat Tjan  percaya pada  dokter Niu  yang merawatnya  untuk melakukan theraphy  cryosurgery dokter yang merawat  tetap menjelaskan  prosuder pengobatanya kepada kakek dua cucu perempuan.
Pengetahuan Tjan  tentang kanker semakin lengkap setelah dirinya berhasil mengalahkn  penyakit yang kerap disebut  sebagai the slent killer.

Kata Tjan  persepsi kanker tergantung dari pembawaam penderitanya. Kalau penderitanya tetap positif, tidak panik, seta tidak sedih, maka hal ini akan semakin menolong pasien. “ Positive thinking  atau semangat menjadi bagian dari penyembuhan. Saya rasa, tidak hanya untuk penderita kanker saja, namun juga untuk semua jenis penyakit, semangat jadi penyembuhan diri sendiri. “ kata Tjan penderita  kanker paru-paru.

Semangat  Menjadi  Modal 30 % Penyembuhan

Hardi Mustakim Tjiong  pria  kelahiran  31 Desember 1945  didiagnose sebagai penderita kanker hati dalam stadium 4, ayah tiga putri  dan kakek dari lima orang cucu  memang memiliki  semangat  berserah campur keberanian  dalam berjuang  meraih  kehidupanya kembali.

Hadi mendapatkan diagnose  yang sama dan serupa dari dokter kedua yang dikunjunginya.”  Malah dokternya  mengatakan dengan santai , wah ini  ini mah sudah stadium 4, tinggal nunggu mukjizat “Tuhan  saja” ceritanya terttawa . Jika  mengingat  mendebarkan itu, sekarang  Hadi komentar yang diberikan dokter  tentang  mukjizat terasa lucu. Baginya mukjizat  bukam sesuatu yang ditunggu . Baginya, mukjizat bukan sesuatu yang harus ditunggu, tapi wajib diwujudkan.

Jika  menempatkan dirinya pada situasi saat itu.  Hardi yang berharap mendapatkan diagnosis melegakan  dari misinya mencari pendapat kedua justru berbalik 180 derajat. Ia sangat kesal mendengar pemilihan kata yang kurang bijak dari si dokter ahli. “ Saya sempat down  tiga hari. Yang terlintas di kepala saya ketika mendengar kata “kanker”  adalah penyalit yang belum  ada obatnya sehingga kematian adalah kepastiannya.”

Menurut Hardi  ketika berhasil memiliki semangat , kita sudah memiliki 30 % modal untuk sembuh.
Hardi pun  menitipkan 30 persen untuk sembuh miliknya kepada Tuhan. “Saya serahkan semuanya kepada Tuhan. “ Saya serahkan  semuanya kepada Tuhan.. Dengan iman yang saya miliki , saya percaya Tuhan akan memilihkan dokter terbaik dan  menunjukkan  rumah sakit terpilih untuk menyembuhkan  saya.”

Langkah  pertama  yang digerakan dengan  modal 30 %  itu, Hadi mengumpulkan anak- anaknya lalu memberikan pesan, agar anak-anaknya  tidak memperlakukan  dirinya seperti orang sakit.

Terima Kanker  Dengan Damai  Untuk Ringankan Beban 
Yitno Sugiarto pria kelahiran 30 Januari 1951  menderita  kanker paru-paru, kanker kantung  jantung,  kanker getah bening dan kanker tulang iga .

Mendengar apa yang dideritanya, yanto  menyadari  tidak ada kekuatan yang lebih besar  selain berdoa dan berbagi. Doa membuatkan yakin bahwa kehidupan  ini dikendalikan  Tuhan yang Maha bisa. Kendali Nya membuat dirinya mampu berbicara  blakblakan  mengenai penyakitku . Keterbukaan  membuatku lebih siap menghadapi segala tindakan pengobatan yang akan dijalani selama berada di Ghuangzo.

Maju Tak Gentar  Hadapi  Kemoterapi 

Meski  sudah  mendapat gambaran  mengenai keunggulan  kemoterapi tetap saja rasa takut tak mau pergi dari hati kecilku  kata  Mary Laurensia wanita  kelahiran 6 Agustus  1969. Meski  dari Jakarta  menunju  rumah sakit FUDA di Ghoangzho  telah mempersiapkan rambut palsu dan topi untuk  menutupi botak akibat rambut rontok, terselip  pertanyaan  bagaimana penampilaku setelah  kepalaku botak .

Perjuangan  pertamaku melawan  kanker terasa  begitu berat. Sakit fisik yang kualami ditambah rasa rindu  yang dalam  terhadap anak-anak  yang ditinggal di Jakarta  membuatku  kewalahan  saat menghadapi kemoterapi yang pertama.

Usai kemoterapi kedua  perubahan  signifikan tampak pada sel kanker ku . Aku semakin antusias  menjalani  kemoterapi ketiga . Selesai kemoterapi ketiga aku diminta radiasi  sebanyak 35 kali tanpa putus . Itu berarti selama 35 hari  non stop  sel kankerku dihantam penyinaran.

Disatu sisi  aku sangat merindukan anak –anak . Aku memberanikan diri untuk  bertanya, bisakah  radiasi dilakukan  di Jakarta. Bermodalkan surat rujukan  dari Guangzho , aku menjalani radiasi di salah satu rumah sakit pemerintah di Jakarta.
Selama  melakukan radiasi ada pengalaman  yang tidak terlupakan dimana dokter melarangku  mandi. Tubuh  bagian atas tidak boleh dilap sama sekali karena bisa membuat kulit gosong. Jadi selama 35 hari aku hanya memandikan  tubuh bagian bawah.

Begitu dua minggu  setelah radiasi selesai dan dokter radiologi  mengeluarkan izin  mandi, aku girang sekali.  Mandi kali itu menjadi surge .Begitu rutinitas  kecil  ini bisa membuatku lega. Rasanya puas sekali ketika guyuran air membasahi seluruh bagian tubuhku.

Rasa lega  terasa  saat kulit ketiak  yang melempuh sembuh. Aku bebas menggunakan baju berlengan lagi. Rasa puas puas sama sewaktu sewaktu rambut yang baru mulai bersemi memenuhi kepalaku. Aku tidak sabar  melihatnya tumbuh panjang . Meski baru  tumbuh 2 hingga 3 sentimeter kata temanku  rambutku yang sekarang  kebih bagus dari pada sebelumnya. Ya  iyalah ini kan rambut kiriman  dari  Sang Pencipta. Betapa Tuhan  mengajariku  untuk  lebih bersyukur akan segala hal. 

Dirinya Lebih  Siap  Menghadapi Kanker Dari Pada Menghadapi Orang  yang Membuat Pikirannya Pusing

Bagi  Tan  Hong Sen  dirinya siap menghadapi  kanker dari pada menghadapi orang yang membuatnya pusing pikirannya. Menurutnya  menghadapi kanker pilihannya. Menurutnya menghadapi perkara kanker pilihannya hanya dua, yaitu hidup atau mati.
“ Lebih baik  saya berjuang  untuk hidup dengan  mengalahkan kanker ketimbang stress mikirin  orang  yang berniat menghancurkan  usahanya.”

Pemikiran  itu disimpulkan Tan  ketika secar berturut turut  mengalami  pergumulan  hidup sepanjang tahun 2011. Pertama bisnisnya yang dirintis dari bawaj  dicederai orang yang tidak bertanggung jawan . Kedua kanker kolonrektal  stadium dua mengincar  dirinya. Dan dengan akal sehat  serta dukungan dari istri serta ke empat anaknya. Tan dengan lantang  memilih menhgadapi kanker dengan  gagah berani ketimbang  terus terseret pikiran  orang yan telah mengagalkan bisnisnya.

“ Hidup saya lebih berharga ketimbang bisnis saya. Sekarang saya hanya ingin  enkoy menjalani hari-hari saya. Hidup begini lebih enak lho , lebih bahagia. “

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini