TRIBUNNEWS.COM - Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa 86,1 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal, antibiotik seharusnya digunakan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat, serta dibeli dengan resep dokter.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik cenderung berlebihan dan justru diberikan pada kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Studi yang dilakukan YOP tahun 2010 menunjukkan bahwa 86,4 persen anak-anak penderita infeksi virus seperti demam yang bisa sembuh tanpa obat-obatan, justru diberi antibiotik. Tentu saja, praktik konsumsi obat seperti ini berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak tersebut.
Padahal, kata dokter spesialis anak dr. Purnamawati S. Pujiarto, Sp.AK, MMPed., yang juga aktivis Yayasan Orangtua Peduli (YOP), "Dalam setahun, balita biasanya jatuh sakit 8 - 12 kali. Namun, sakit yang menerpa ini tergolong ringan, seperti batuk pilek, diare tanpa darah, atau flu. Sebagian besar infeksi yang demikian bersifat self limiting disease alias bisa sembuh sendiri. Ini sebetulnya mekanisme alamiah untuk menstimulasi sistem imun anak. Baru di atas usia 6-7 tahun, anak akan mulai jarang sakit."
Studi WHO tahun 2005 juga menemukan bahwa 50 persen resep di puskesmas dan rumah sakit Indonesia mengandung antibiotik. Sedangkan survei nasional tahun 2009, menemukan bahwa antibiotik diresepkan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu).
Padahal, bentuk pemberian antibiotik yang tak bijak seperti dosis tidak tepat, frekuensi pemberian yang keliru, atau waktu pemberian yang terlalu singkat atau terlalu lama, bisa menimbulkan risiko tersendiri.
Selain mengurangi efektivitasnya membunuh mikroba, ini juga menimbulkan resistensi yang bisa menyebabkan pasien menderita sakit yang lebih berat, lebih lama, serta pengobatan yang lebih mahal. Selain itu, pasien juga berisiko terpapar risiko toksisitas, bahkan hingga risiko kematian.
Tidak semua penyakit butuh antibiotik. Berikut panduannya seperti dikutip dari situs www.bijak-antibiotik.com:
* Batuk pilek . Penyebabnya adalah virus sehingga tidak dapat diobati dengan antibiotik.
* Batuk atau bronchitis . Kebanyakan penyebabnya adalah virus. Namun, jika Anda mengalami masalah dengan paru-paru atau penyakit berlangsung dalam waktu lama, bisa jadi disebabkan oleh bakteri. Serahkan pada dokter untuk memutuskan perlu atau tidaknya menggunakan antibiotik.
* Radang tenggorokan . Kebanyakan disebabkan oleh virus dan tidak memerlukan antibiotik. Kecuali, strep throat yang memang disebabkan oleh bakteri. Dokter akan menyampaikan jika Anda menderita strep throat dan meresepkan antibiotik.
* Infeksi telinga. Ada beberapa jenis infeksi telinga. Antibiotik digunakan untuk beberapa namun tidak untuk semua jenis infeksi telinga.
* Infeksi sinus . Antibiotik sering digunakan untuk mengobati infeksi sinus. Namun, hidung mengeluarkan ingus baik yang kuning atau hijau bukan berarti Anda harus membutuhkan antibiotik.
* Bila dokter meresepkan antibiotik, pastikan Anda menghabiskan semua , bahkan ketika Anda merasa kondisi tubuh telah membaik. Ini untuk mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi pada bakteri yang tertinggal di tubuh Anda.
* Jangan menggunakan antibiotik tanpa resep dokter. Sama halnya jika Anda memiliki antibiotik yang tersisa dari saat Anda sakit sebelumnya, jangan menggunakannya kecuali dengan izin dokter. Sisa antibiotik belum tentu bermanfaat pada sakit yang Anda derita. Jika pun memang bermanfaat, bisa jadi dosisnya tidak cukup untuk membunuh seluruh bakteri di tubuh Anda.
Membuat Gemuk
Selain membuat bakteri jadi resisten, terlalu sering minum antibiotik ternyata bisa memicu kegemukan. Menurut Satya Sivaraman dari ReAct, jaringan global dengan konsentrasi aksi resistensi bakteri yang berpusat di Uppsala University , Swedia, "Ini berhubungan dengan terganggunya flora normal atau mikroorganisme di dalam tubuh yang berperan dalam pencernaan makanan."
Terganggunya flora normal akan mengakibatkan percernaan tidak bekerja optimal sehingga makanan tidak dapat dicerna dengan baik. Akibatnya, pasien bisa mengalami kegemukan. "Mekanisme secara rinci belum diketahui secara pasti. Hanya saja menurut sebuah penelitian, anak yang sering mengonsumsi antibiotik rata-rata lebih gemuk daripada yang tidak," jelas Satya. (Hasto Prianggoro/Tabloidnova.com)
Terlalu Sering Konsumsi Antibiotik Picu Kegemukan
Editor: Anita K Wardhani
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger