Laporan Wartawan Tribunenws.com, Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya kontroversi Pasal 31 (1) Peraturan Pemerintah No 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang dipandang melegalkan tindakan aborsi dijawab Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi
Nafsiah menjelaskan tentang PP yang mengatur aborsi yang hanya dilakukan atas dasar indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Menurut Menkes, aturan itu dikeluarkan untuk memberikan perlindungan kepada korban perkosaan yang menyebabkan kehamilan.
"Kalau sampai dibiarkan korban perkosaan hamil, dilahirkan lalu dibesarkan, menyebabkan korban akan lebih menderita," katanya di Kementerian Kesehatan, Selasa (19/4/2014).
Penderitaan yang dialami jika tidak dilakukan aborsi, maka dia harus menghidupi anak yang tidak diharapkannya itu. Padahal, anak yang dilahirkan karena ia menjadi korban kejahatan.
Nafsiah menyebut, pembiaran ini merupakan pelanggaraan hak fisik, sehat mental, spiritual.
Kalau hamil ya bertanggungjawab. "Masak korban kejahatan masak harus bertanggungjawab. Kan tidak fair," katanya.
Disinggung mengenai tindakan aborsi bisa dilakukan 40 hari, didasarkan atas fatwa MUI. "Secara kedokteran usia 40 hari setelah haid masih berupa sigot," katanya.
Nafsiah kembali menegaskan, aborsi merupakan pelanggaran HAM, kecuali indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
"Hak perempuan akan dilanggar jika harus hamil anak hasil kejahatan, memelihara anak itu dewasa sampai tua, hak perempuan dilanggar," katanya.