News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Makanan Bergizi Tidak Harus Mahal

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengguna sepeda mengajak pengunjung Car Free Day untuk memperhatikan gizi melalui kampanye Ayo Melek Gizi yang diadakan Sarihusada, Minggu (24/1/2015).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gizi masih menjadi persoalan serius yang dihadapi Indonesia. Apalagi gizi berkaitan erat dengan produktivitas dan kebugaran.

Celakanya saat ini orangtua cenderung kurang memperhatikan dalam memberikan pola gizi anak-anaknya. Mereka justru membelanjakan pendapatannya untuk beli rokok atau pulsa.

"Karena menyangkut produktivitas, kebugaran dan kesehatan, orangtua itu harus diedukasi, mana beli pulsa, beli rokok, atau beli makanan bergizi," kata Ahmad Sulaeman, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor saat kampanye "Ayo Melek Gizi" yang diselenggarakan Sarihusada di Jakarta, Minggu (24/1/2015).

Masih banyaknya anak-anak yang kurang mengonsumsi makanan bergizi, sebut Ahmad, karena keluarga tidak mampu itu masih beranggapan bahwa makanan bergizi itu harus mahal.

"Sumber masalah gizi adalah income dan pendidikan. Pendidikan disini adalah pengetahuan. Karena mereka pengetahuan rendah dan pendapatan yang rendah," katanya.

Disebutkan, gizi itu bukan dari makanan saja, tapi dari lingkungan juga. Terus pola pengasuhan anak. Dari sejak dia mengandung, dia suka ngajak ngomong.

Data Global Nutrition Report (2014) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki masalah gizi yang kompleks. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya prevalensi stunting, prevalensi wasting, dan permasalahan gizi lebih.

Mengutip data Riskesdas 2013, prevalensi gizi kurang pada balita memberikan gambaran yang fluktuatif dari 18,4 persen (2007) menurun menjadi 17,9 persen (2010) dan kini meningkat lagi menjadi 19,6 persen (tahun 2013).

Obesitas sentral merupakan kondisi sebagai faktor risiko yang berkaitan erat dengan beberapa penyakit kronis. Dikatakan obesitas sentral apabila laki-laki memiliki lingkar perut > 90 cm, atau perempuan dengan lingkar perut > 80 cm.

Secara nasional, prevalensi obesitas sentral adalah 26.6 persen, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun 2007 (18,8 persen). Selanjutnya, masalah stunting atau pendek pada Balita ditunjukkan dengan angka nasional 37,2 persen.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini