TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggerak Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di RW 010 Tanah Sereal, Tambora, Jakarta Barat, Tini, terpaksa memutar otak agar kegiatan Posyandu yang menjadi tanggungjawabnya tetap bisa berjalan.
Salah satu langkah yang dilakukannya adalah menyiasatinya dengan mengurangi porsi makanan bayi di Posyandu. Biasanya Tini menyiapkan makanan untuk sekitar 70 bayi, namun saat ini dibatasi hanya untuk 30 hingga 40 bayi.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan makanan bayi seperti kacang hijau, buah, susu, dan biskuit, dia mengandalkan dari iuran RW setempat.
Kejadian yang dialami Tini juga terjadi di Posyandu lainnya. Pengurangan porsi makanan bayi di Posyandu-Posyandu ini terjadi akibat belum disahkannya Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta tahun 2015.
Menurut Tini, menu makanan juga dibuat sesuai kemampuan dana yang ada. Tini berharap APBD DKI 2015 segera disahkan supaya warga datang lagi ke Posyandu dan kegiatan Posyandu bisa berjalan lancar. "Selama ini kan Posyandu dapat dari anggaran kelurahan, dan kelurahan dapat dari APBD," ucap Tini.
Secara terpisah, Lurah Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Abdul Latif mengatakan, dana Posyandu diambilkan dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Kelurahan. Hingga kini DPA belum bisa disusun karena APBD 2015 belum cair. Namun, kegiatan seperti posyandu dan sosialisasi kesehatan tetap berjalan dengan dana swadaya masyarakat. "Kegiatan jalan terus dengan iuran warga, pengurus RW, dan donatur," kata Abdul Latif.
Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat Dewi Satiasari menuturkan, dana Posyandu diambil dari program penyuluhan masyarakat dari APBD. Alokasi dana tersebut terutama untuk pemberian makanan bergizi bagi anak balita dan orang lanjut usia. Anggaran penyuluhan dan operasional dialokasikan di kelurahan.
Sementara itu, anggaran untuk kegiatan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan wawasan petugas Posyandu sebesar Rp 40 juta per tahun dialokasikan di Suku Dinas Kesehatan. Total Posyandu di Jakarta Barat ada 824. "Kegiatan seharusnya tidak terhambat karena itu program dari masyarakat untuk masyarakat. Kalau tidak ada dana APBD, bisa dengan dana swadaya," ujar Dewi.
Keterlambatan pengesahan APBD 2015 dikarenakan adanya kisruh antara Pemprov DKI dan DPRD. Gubernur DKIJakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menduga ada anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun dalam dokumen tersebut. Ahok menuding DPRD memotong sejumlah anggaran dari program unggulan Pemprov DKI sebesar 10-15 persen untuk dialihkan ke yang lain, seperti pembelian UPS di sekolah, kelurahan, dan kecamatan.
Manajer Advokasi-Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi, sudah memperkirakan bahwa kisruh antara Ahok dengan DPRD akan membuat masyarat menjadi bagian yang paling dirugikan. Sebab, masyarakatlah yang menjadi bagian penyumbang terbesar dari APBD DKI melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 45,3 triliun.
"Pelayanan publik terancam lumpuh. Hak rakyat dalam APBD terkait anggaran kesehatan dan pendidikan juga terancam terlambat. Anggaran KJS, KJP, dan dana BOS terancam molor turun. Akibatnya, jatuh tempo penarikan puskesmas, rumah sakit, sekolah, menjadi terhambat pula," ujar Apung di kantornya baru-baru ini.
Penyerapan APBD DKI Jakarta juga semakin rendah. "Dipastikan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 80 persen," ujarnya.