TRIBUNNEWS.COM - Dion Parratt (18) menyesal memiliki kebiasaan konsumsi lima kaleng minuman berenergi per hari.
Kini ia harus mengenakan alat monitor jantung dengan elektrokardiogram (EKG) selama 24 jam setiap hari karena masalah jantung yang cukup serius.
Dion menyatakan penyesalannya di media sosial Facebook dengan mengunggah foto badannya yang dipenuhi kabel untuk monitor jantung. Ia berharap kondisinya ini bisa jadi pelajaran bagi banyak orang.
Gadis remaja ini menceritakan, ia rutin mengonsumsi rata-rata lima kaleng minuman berenergi per hari sejak usia 11 tahun.
Dion mengaku menjalani diet dan minum lima kaleng untuk menambah energinya.
Ia yakin, kebiasaannya itu yang membuat kondisi jantungnya kini dalam masalah serius.
Dion sempat pingsan, mengalami tekanan darah rendah, dan denyut jantungnya sangat lemah.
"Ini yang terjadi ketika Anda menghabiskan masa kecil dengan minum minuman energi," tulis Dion di Facebook.
Dion terpaksa mengenakan kabel yang terhubung ke mesin EKG agar dokter mudah memantau detak jantungnya.
Ia juga mengimbau para orangtua untuk melarang anak mereka konsumsi minuman berenergi yang berlebihan.
"Dan para orang tua, siapa saja, jangan biarkan anak-anak Anda minum minuman berenergi. Mereka harus dilarang," kata Dion.
Ahli jantung dari Rumah Sakit St Thomas, dokter Graham Jackson mengungkapkan, minuman berenergi memang mengandung kafein tinggi yang bisa membuat jantung berdetak lebih cepat.
Selain itu, Dion juga beresiko mengalami keguguran.
Ia mengatakan, minum dua kaleng minuman berenergi per hari saja sudah menimbulkan risiko kesehatan karena kandungan kafeinnya bisa mencapai 800 mg kafein.
"Batasnya sampai 400 mg kafein masih dalam tingkat aman. Lebih dari itu, Anda jantung Anda mungkin akan berdebar-debar," kata Jackson.
Sayangnya, menurut Jackson kebanyakan anak muda baru berhenti kebiasaan konsumsi minuman berenergi setelah ada masalah serius.
Sementara itu, peneliti Spanyol memperingatkan, rutin konsumsi minuman berenergi satu kali per hari saja sebenarnya bisa memicu detak jantung tidak menentu dan serangan jantung pada remaja sehat.
Dian Maharani/Kompas.com