TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angka kejadian penyakit dan risiko alergi terus meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Pola hidup masyarakat yang berubah menghasilkan lingkungan yang rentan menimbulkan penyakit alergi, ditambah masih rendahnya pemahaman masyarakat mengenai alergi, seperti mengenali faktor risiko maupun kesalahan dalam menangani alergi anak.
DR. Dr. Zakiudin Munasir, SpA(K), Konsultan Alergi-Imunologi Anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengatakan, faktor yang dapat meningkatkan risiko alergi pada anak adalah riwayat alergi pada keluarga, kelahiran caesar, dan polusi yang termasuk polusi udara dan asap rokok.
Risiko alergi akan semakin tinggi bila terdapat riwayat alergi pada anggota keluarga.
Anak-anak dengan kedua orang tua memiliki riwayat alergi memiliki risiko alergi sebesar 40%-60%, dan anak-anak dengan kedua orang tua yang memiliki riwayat alergi dan manifestasi sama, memiliki risiko alergi sebesar 60%-80%.
"Bahkan anak dengan orang tua yang tidak memiliki riwayat alergi pun, berisiko mengalami alergi sebesar 5%-15%," kata dr Zaki saat Peluncuran Allergy Awareness Week ditandai dengan memperkenalkan Buku ‘Mengenal Alergi pada Anak’ dan website alergianak.com serta peluncuran kampanye ‘Bunda Tanggap Alergi dengan 3K di Jakarta belum lama ini.
Anak-anak yang dilahirkan secara caesar juga memiliki risiko asma sebesar 20% dan alergi rhinitis sebesar 23% lebih tinggi dibandingkan anak yang dilahirkan secara normal.
Sebuah penelitian di Korea pada 2011 menunjukkan bahwa sekarang ini kota dengan tingkat polusi yang tinggi memiliki prevalensi gejala alergi yang lebih tinggi pada penduduknya.
“Dibutuhkan edukasi yang komprehensif tapi mudah dipahami mengenai alergi pada masyarakat, agar masyarakat dapat mengenali dan menangani risiko dan kejadian alergi dengan tepat sehingga prevalensi alergi tidak terus meningkat,” kata Dr. Zakiudin.
Dr. Zakiudin menambahkan masih menemukan banyak kasus dimana orang tua melakukan pantangan makanan tertentu pada anak yang menderita penyakit alergi.
"Padahal belum tentu makanan tersebut sebagai pencetus alergi, dan juga berbagai pantangan ketat pada ibu hamil dan menyusui yang diduga memiliki risiko alergi dalam keluarganya,” katanya.
Dr Zakiudin menjelaskan bahwa satu dari 25 anak di Indonesia menderita alergi protein susu sapi, dengan gejala paling umum pada pernafasan (51,5%) dan kulit (48,7%).
"Sisanya gejala pada pencernaan (39,3%) dan gejala-gejala lain seperti pada mata dan susunan saraf pusat atau sakit kepala. Pemberian nutrisi awal kehidupan yang kurang tepat sesuai kondisi dan kebutuhan anak juga dapat meningkatkan risiko alergi," katanya.
DR. Dr. Herqutanto, MPH, MARS, Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menjelaskan, alergi memiliki dampak lebih dari sekedar gangguan atau gejala pada pernafasan, kulit, atau pencernaan.
Alergi tidak saja berdampak pada tingkat kesehatan di kemudian hari, seperti timbulnya asma dan rhinitis serta meningkatnya risiko penyakit degeneratif, tapi juga dampak sosial seperti harus sering ke dokter, meningkatnya pengeluaran untuk kesehatan, berkurangnya produktivitas dan dampak sosial lainnya.
Oleh karenanya, kegiatan edukasi, komunikasi, dan advokasi kepada masyarakat mengenai alergi sangat penting, karena masih banyak masyarakat yang sudah tahu mengenai alergi tapi mencoba mengira-ngira atau mengambil solusi sendiri.
"Edukasi dan advokasi yang tepat akan membantu masyarakat untuk memahami pentingnya langkah-langkah yang tepat dalam menangani alergi dan mencegah terjadinya dampak berkelanjutan baik terhadap kesehatan maupun dampak sosial,” tambah Dr. Herqutanto.
Ahmad Hamdani, Healthcare Nutrition Director Sarihusada, mengatakan peluncuran Allergy Awareness Week ini kami memperkenalkan website alergianak.com dan kampanye ‘Bunda Tanggap Alergi dengan 3K’.
"Butuhkan alat edukasi yang sederhana, mudah diakses, dan ‘bersahabat’ bagi masyarakat untuk memperoleh berbagai informasi mengenai alergi dan cara penanganan yang tepat,” katanya.
Melalui website alergianak.com masyarakat bisa mengenali faktor risiko alergi anak dari riwayat keluarga, gejala-gejala awal seorang anak terkena alergi, tips mengatasi alergi dan nutrisi untuk anak alergi.
Dalam situs ini para ibu juga bisa berdiskusi dan bertanya langsung kepada para pakar terkait alergi pada anak, serta berbagi pengalaman untuk meningkatkan berbagai referensi mengenai penanganan alergi.
Sedangkan kampanye ‘Bunda Tanggap Alergi 3K’ yang berslogan ‘Kenali, Konsultasikan, Kendalikan’ diluncurkan agar masyarakat dapat lebih teredukasi dalam mengenali dan mengatasi alergi dengan langkah yang tepat, sehingga tumbuh kembang anak optimal.
“Kampanye ‘Bunda Tanggap Alergi dengan 3K’ merupakan salah satu inisiatif kami dalam melakukan edukasi kepada ibu-ibu Indonesia khususnya mengenai langkah-langkah yang tepat dalam menangani alergi, agar para ibu mampu mengambil langkah yang tepat untuk menanganinya,” tambah Ahmad.
Peluncuran buku ‘Mengenal Alergi pada Anak’, gerakan ‘Bunda Tanggap Alergi dengan 3K’ dan website alergianak,com menandai diluncurkannya Allergy Awareness Week yang akan berlangsung 11-17 April 2016.
Kegiatan utama dalam Allergy Awareness Week adalah roadshow edukasi dan penyuluhan oleh Departemen IKK FK UI ke 12 titik klinik di Jakarta, dimana masyarakat bisa melakukan deteksi dini terkait risiko alergi, penyuluhan mengenai alergi, dan melakukan berbagai permainan interaktif yang menarik.
Kegiatan puncak Allergy Awareness Week akan berlangsung acara ‘Tanggap Alergi Day’ pada tanggal 17 April 2016 di Car Free Day, berupa parade drum band anak sekolah, jalan sehat keluarga, dan edukasi serta konsultasi.