TRIBUNNEWS.COM - Uji coba awal sudah menemukan bahwa obat yang dijuluki TEV-48125-dapat membantu mencegah serangan migrain pada orang yang pernah menderita sakit kepala jangka panjang.
Penelitian menunjukkan, obat ini bekerja dalam waktu tiga sampai tujuh hari dari suntikan pertama.
"Setahu saya, itu pemisahan tercepat yang pernah ditunjukkan pada pengobatan migrain kronis," kata pemimpin penelitian Dr Marcelo Bigal, dari Teva Pharmaceuticals, perusahaan yang mengembangkan TEV-48125.
Istilah "pemisahan" mengacu pada titik di mana pasien TEV-48125 mulai membaik, dibandingkan dengan pasien yang diberi plasebo (pengobatan tidak aktif).
TEV-48125 adalah salah satu obat kelas baru yang dikembangkan untuk mencegah migrain. Semua obat yang mendorong antibodi memblokir zat kimia dalam sistem saraf disebut CGRP.
Penelitian telah menemukan, bahwa CGRP menyebabkan peradangan dan pelebaran pembuluh darah dan mengangu otak selama terjadinya serangan migrain.
Dr. Mark Green adalah profesor neurologi dan anestesiologi di Gunung Sinai Icahn School of Medicine, di New York City. "Tampaknya antibodi ini bekerja cukup cepat," kata Green.
Migrain dianggap kronis ketika menyerang setidaknya selama 15 kali dalam satu bulan, kata para penulis studi.
Selama ini, dokter meresepkan berbagai obat yang dapat membantu mencegah migrain - termasuk obat tekanan darah tertentu, antidepresan dan suntikan Botox.
Studi terbaru ini meneliti lebih dari 250 pasien dengan migrain kronis secara acak. Penelitian awal menemukan, bahwa pasien yang minum TEV-48125 mengalami penurunan durasi serangan sakit kepala setiap bulannya.
Sejauh ini, kata Green, "Tidak ada sinyal keamanan yang signifikan untuk dikhawatirkan" atas obat baru ini. Dalam studi yang asli, efek samping yang paling umum adalah rasa sakit di tempat suntikan dan iritasi kulit.
Tapi, biar bagaimanapun, studi ini masih studi awal, Green menekankan. Bigal mengatakan, penelitian yang sedang berlangsung akan terus melihat sisi keamanan konsumsi obat. "Sejauh ini, tidak ada efek samping yang serius terkait pengobatan," katanya.
Studi ini telah dipublikasikan secara online pada 8 Juni di jurnal Neurology.
Lily Turangan/Kompas.com