Obesitas dan diabetes melitus juga lebih banyak menyerang penderita gangguan tidur yang memiliki riwayat OSA.
Penderita gangguan tidur dengan OSA juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit jantung, pembuluh darah, dan stroke melalui peningkatan tekanan darah.
“Gangguan tidur yang sifatnya sementara sebenarnya belum memerlukan pengobatan dengan pil tidur seperti yang banyak diceritakan dalam film di televisi,” jelas dr. Mohammad Caesario.
Dokter biasanya hanya menyarankan tips di bawah ini:
- Coba untuk tenang sebelum memulai tidur. Usahakan serileks mungkin ketika Anda berada di ranjang. Redupkan lampu dan jangan pernah takut atau gugup bahwa tidak akan bisa tidur.
- Buatlah suasana kamar tidur dengan temperatur senyaman mungkin. Bila perlu gunakan pendingin ruangan atau kipas angin bila terlalu panas.
- Pakai pakaian yang longgar dan dingin.
- Setel musik ringan dengan volume terkecil yang bisa membuat Anda rileks.
- Hindari kopi dan soda.
- Minumlah susu hangat karena susu dipercaya mengandung sejumlah kecil hormon melatonin yang dapat membantu tidur.
- Bila Anda sudah menikah, berhubungan seks dengan pasangan juga dapat membantu Anda rileks dan mudah mengantuk. Bagi yang belum menikah bisa dengan berolahraga ringan minimal 15 – 30 menit setiap harinya.
Sementara pemberian obat tidur hanya diindikasikan bagi insomnia yang biasanya disertai dengan keadaan gangguan mental setiap stres depresi.
Selain dibutuhkan konseling untuk mengatasi masalah si penderita, biasanya dokter akan meresepkan obat tidur yang fungsinya mampu mengatur struktur kimia saraf di otak.
Jadi sebetulnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah minum obat tidur adalah efek samping dari obat-obatan penenang mental tersebut.
Dan bila obat ini dikonsumsi dalam jangka waktu panjang bisa menimbulkan toleransi. Penderita pun membutuhkan dosis yang lebih tinggi karena sudah “kebal”.
Buruknya, efek samping obat ini bisa menimbulkan kerusakan organ tubuh, antara lain hati dan ginjal. K. Tatik Wardayati/Intisari-Online.com