News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Wabah Difteri

Derita Sobari Dikucilkan Warga Setelah Cucunya Meninggal karena Difteri

Penulis: Gita Irawan
Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang murid ketakutan ketika petugas medis memberikan suntikan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) di SDN Bawakaraeng 3, jl Gunung bawakaraeng, Makassar, Sulsel, Rabu (15/10). Kegiatan imunisasi itu merupakan bagian dari program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) guna memberikan perlindungan bagi anak-anak usia sekolah dasar terhadap penyakit campak, difteri dan tetanus. TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEW.COM, TANGERANG - Duka Sohari (55) belum usai ketika cucunya, Rustam (6) wafat karena penyakit difteri sekitar empat puluh hari lalu.

Lebih dari itu Sohari juga masih sempat juga "dikucilkan" oleh warga sekitar.

Warga sekitar tempat tinggalnya di RT. 01/15 Kampung Rawajati, Rawa Rengas, Kabupaten Tangerang sempat tidak mau mengajaknya berbicara usai cucunya wafat karena penyakit menular tersebut.

Padahal sebelumnya, warga bergaul dengan seperti sewajarnya.

Menurutnya, warga takut karena cucunya wafat karena difteri.

Baca: Kunto Aji Khawatir Anaknya yang Sudah Diimunisasi Terjangkit Difteri, Ini yang Membuatnya Deg-degan

"Sempet kecewa sama masyarakat. Pas belom lama meninggal, kalau mereka lewat pada ditutup-tutupin (mulut dan hidungnya) pake jilbab. Namanya musibah kan kita juga nggak pengen, coba gimana kalo dia yang begitu," ungkap Sohari sambil tertunduk dan mengisap rokok di tangannya. Namun menurut Sohari, kini warga di sekitar rumahnya tersebut sudah tidak "mengucilkannya" setelah warga lain diberi vaksin dan penyuluhan dari RT setempat.

Cucu dari anak laki-lakinya tersebut diketahui terserang penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium Diptheriae itu dibawa ke Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang (RSUKT) sekitar awal November 2017 lalu.

Sohari sudah lupa tanggal berapa ketika cucunya mulai panas tinggi. Tapi Sohari masih mengingat jelas bagaimana gejala awalnya.

"Awalnya panas dua hari, terus radang, abis itu gondong (kelenjar getah bening membengkak)," kata Sohari yang merupakan warga asli daerah itu.

Sohari menuturkan bahwa ayah cucunya, Zarkasih (37) dan ibunya Afika (32) sempat membawa anak mereka ke pengobatan alternatif di sekitar rumah.

Awalnya mereka mengira bahwa Rustam terkena penyakit gondong dan rafang tenggorokan.

Karena itu mereka hanya memberikan Rustam obat panas dalam dan membawanya ke tempat pengobatan alternatif di dekat rumahnya.

"Ya kayak biasa aja, dikasih larutan (obat panas dalam) terus dijampe, disyareatin (didoakan) sama di kasih blao (pemutih pakaian berwarna biru yang dipercaya obat gondong)," kata Sohari.

Menurut Sohari, Rustam sempat sembuh sehari setelah dibawa ke pengobatan alternatif, namun kembali demam keesokan harinya.

Akhirnya Zarkasi memutuskan untuk membawanya ke RSUKT, Sohari baru tahu kalau cucunya terserang penyakit mematikan tersebut dan harus masuk ruang isolasi.

Setelah itu, seluruh keluarga Sohari kemudian diberi vaksin dan obat dari RSUKT untuk mencegah penularan.

Rustam sendiri merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakaknya yang duduk di bangku SMP dan seorang adik balita serta ibunya tidak tertular penyakit tersebut. Begitupun Sohari dan istrinya, Osiah (50).

Sang Ayah Tertular

Beberapa hari setelah Rustam wafat, Zarkasih diminta oleh pihak tempatnya bekerja di Bandara Soekarno Hatta untuk diperiksa di RSUD.

Sohari dan Osiah terkejut karena ternyata anak mereka tersebut tertular penyakit difteri.

"Padahal bapaknya sehat-sehat aja, nggak keliatan sakit. Tapi pas diperiksa di RSU (RSUKT) taunya nggak boleh pulang," kata Sohari.

Osiah pun menambahkan, bahwa Rustam memang anak kesayangan Zarkasih. Mereka kerap makan dari satu piring dan sangat dekat.

"Emang sayang banget dia mah, makan aja satu piring berdua, sering diciumin," ungkap Osiah.

Karena telah tertular, Zarkasih pun dirawat di sana selama 14 hari lamanya.

Menurut Sohari, cucunya hanya sempat dirawat selama sepuluh hari di RSUKT sebelum wafat di sana.

Mimisan
Sohari mengatakan bahwa cucunya yang tengah duduk di bangku kelas satu SD tersebut sempat mimisan.

Cucunya sempat membaik sebelum dokter mengatakan bahwa bakteri tersebut sudah lari ke jantung dan perut.

"Sempet baikan, udah bisa makan udah bisa ngomong, tapi dua hari sebelum nggak ada itu dia ngeluh dadanya sesek dan perutnya sakit," kata Sohari yang merupakan pengepul plastik bekas tersebut.

Di samping rumahnya tampak berkantong-kantong besar plastik bekas botol minuman kemasan berserakan.

Dua orang tua tengah memisahkan plastik yang bisa didaur ulang dengan yang tidak. Ratusan lalat berterbangan di aekitar rumah berlantai satu tersebut dan bau busuk menyeruak di udara.

Rumah tersebut berukuran sekitar 30 meter persegi bercat kuning. Sebuah timbangan besi besar terlihat di sudut teras rumahnya. Di teras rumah tersebut tampak dipan kayu untuk duduk.

Rumah anaknya, Zarkasih yang merupakan ayah dari korban meninggal difteri berada di belakang rumahnya. Untuk menuju ke sana harus melewati tumpukan plastik bekas berbau tak sedap tersebut. Rumah Zarkasih berukuran sekitar 30 meter persegi berdinding warna ungu. Rimah tersebut tampak sepi ketika Tribun mengunjunginya. Tidak ada seorang pun menyaut.

Menurut Sohari, anak dan menantunya tidak bisa diwawancara ketika Tribun mengunjungi rumahnya pada Sabtu (9/12/2017). Ia menceritakan bahwa anaknya kerap melamun dan menangis jika kebetulan ingat pada Rustam.

"Bukannya apa, takut pingsan. Itu aja masih sering ngelamun. Tadi nangis abis dari Kober (makam Rustam)," kata Sohari.

Menurut Sohari, pada mulanya beberapa minggu sebelum cucunya terseranh penyakit tersebut seorang anak kecil di dekat rumahnya juga wafat karena penyakit yang sama. Namun ia medengar kabar tersebut justru dari pihak rumah sakit. Setelah cucunya wafat, pihak RT baru mengadakan penyuluhan dan vaksin difteri gratis.

Menurut Sohari, hingga kini semakin banyak warga sekitar yang terjangkit bakteri mematikan tersebut. Namun Sohari tidaberani memastikan berapa jumlahnya. Sohari hanya mendengar bahwa beberapa warga yang berada di sekitar tempat tinggalnya banyak yang dirawat karena penyakit yang sama.

"Banyak yang dirawat, itu ada dari Kresek, Pasar Kemis, Cipondoh. Tapi mah pada sembuh. Nginep (dirawat) 14 hari abis itu pada pulang, nggak kayak cucu saya," kata Sohari dengan tatapan kosong ke depan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini