TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menantu politisi Indonesia Hatta Rajasa, Adara Taista, diberitakan meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Moriyama Memorial Tokyo, Jepang.
Banyak hal menjadi perbincangan dari berita ini. Salah satunya soal pemilihan rumah sakit yang berada di luar negeri.
Meski secara ekonomi Adara, juga sang suami, berasal dari 'kalangan berada', pertanyaan tentang alasan banyaknya orang Indonesia berobat ke luar negeri tetaplah muncul.
Benarkah hal ini disebabkan oleh kualitas tenaga medis atau pelayanan rumah sakit?
Indonesia Services Dialog (ISD) mencatat jumlah orang Indonesia yang berobat ke luar negeri mengalami peningkatan hampir 100% selama 10 tahun terakhir.
Jika di tahun 2006 terdapat 350 ribu orang pasien, tahun 2015 melonjak menjadi 600 ribu pasien.
Total pengeluaran pasien Indonesia di luar negeri pada tahun 2015 mencapai AS$1,4 miliar atau setara dengan Rp 18,2 triliun.
Seperti pasien yang berobat ke Malaysia misalnya, data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menyebutkan jumlah rata-rata orang Indonesia yang berobat ke Negeri Jiran adalah 12.000 orang setiap tahun.
Baca: Keluarga Ungkap Kondisi Adara Taista Sebelum Meninggal Hingga Kehadiran Ular Sanca di Rumah Duka
Khusus untuk Singapura, disebutkan dalam data National Health Care Group International Business Dev Unit (NHG-IBDU) Singapura, sebanyak 50% pasien internasional di sana adalah orang Indonesia.
Saat ini untuk Asia Tenggara yang paling unggul memang Malaysia.
ISD menyebutkan bahwa hampir dua pertiga orang Indonesia yang berobat ke luar negeri memilih rumah sakit Malaysia ketimbang dua negara lainnya yang juga unggul dalam Health Care Tourism yaitu Singapura dan Thailand.
Kemenkes RI pun melihat fenomena ini sebagai sebuah tantangan besar. Bagaimanapun juga warga negara Indonesia diharapkan memilih layanan kesehatan di negeri sendiri.
Namun untuk mengembalikan pasien-pasien Indonesia untuk berobat di sini juga tidak gampang.
Layanan kesehatan di Indonesia masih perlu berbenah untuk bisa diakui oleh masyarakat. Miris memang, tapi itulah kenyataannya.
Keprihatinan juga disampaikan oleh dr. Dasaad Mulijono, kardiolog dari Bethsaida Hospital, Tangerang.
Menurutnya, pasien-pasien di Malaysia maupun di Singapura jarang ada yang berobat di luar dari negaranya. Kecuali kasus berat, baru merujuk pasien ke Amerika, Inggris, atau Jerman.
Larinya pasien-pasien Indonesia ke luar negeri tentu menunjukkan ada sebuah krisis dalam layanan kesehatan di Indonesia. Karena itu rumah sakit di Tanah Air perlu berbenah diri.
Sebab sebetulnya, kata Dasaad, rumah sakit dan dokter di Indonesia sanggup memberikan pengobatan dan pelayanan sebaik rumah sakit luar negeri.
“Saya sendiri memiliki banyak pasien di kalangan ekspatriat, umumnya mereka cukup puas dengan pelayanan kesehatan di sini,” kata Dasaad.
Berarti sebenarnya sudah ada kemajuan dan perubahan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Hanya saja, masih lebih banyak orang meragukan kualitas itu.
Menurut Dasaad, pasien kini banyak melakukan perbandingan kualitas rumah sakit di Indonesia dan luar negeri.
Contohnya, soal kualitas mutu pelayanan, keamanan, dan pengawasan, rumah sakit luar negeri dianggap lebih baik.
Misal, di negeri kita untuk mendapat pelayanan kesehatan harus antre panjang dalam waktu yang lama, bisa sampai 4-6 jam.
Sedangkan di luar negeri menurut pengakuan pasien Dasaad, mereka hanya perlu antre selama 15 menit hingga satu jam saja.
Cerita keamanan juga, di Indonesia masih ditemukan kasus kehilangan barang di rumah sakit.
Sedangkan di luar negeri, kasus-kasus seperti ini sangat minim. Bahkan hal-hal sederhana soal kebersihan, rumah sakit Indonesia masih tertinggal.