TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setiap tahunnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingati tanggal 31 Mei sebagai Hari Anti Tembakau.
Melalui kampanye ini, WHO fokus pada upaya menekankan dampak buruk kesehatan yang disebabkan oleh hasil pembakaran tembakau sembari mengadvokasi kebijakan yang efektif untuk menurunkan jumlah perokok.
Tahun ini, WHO mengangkat tema “Tembakau dan Penyakit Jantung”. Dalam ilmu kedokteran, penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan bagian dari kardiovaskular.
Penyakit ini disinyalir masih menjadi penyebab utama kematian di dunia.
Bahkan, WHO memprediksikan pada tahun 2030 akan ada sekitar 23,6 juta orang yang meninggal akibat penyakit kardiovaskular.
“Secara global maupun Indonesia, penyakit kardiovaskular masih menjadi pembunuh nomer satu. Penyebabnya sendiri bermacam-macam seperti kolesterol, tekanan darah tinggi, kebiasaan merokok, dan gula darah,” ucap ahli jantung Rumah Sakit Pusat Jantung Harapan Kita, dr Renan Sukmawan ST, SpJP(K), PhD, MARS dalam keterangan yang diterima, Minggu (1/6/2018).
Penyakit jantung sangat terkait dengan kolesterol yang mampu menyebabkan ateroklerosis.
Ateroklerosis merupakan kondisi yang terjadi saat terbentuk plak pada dinding pembuluh darah arteri.
Penumpukan ini mempersempit arteri, sehingga darah sulit untuk mengalir melalui arteri.
Mengendalikan kolesterol dengan memperbaiki gaya hidup yang tidak sehat dapat menangkal penyakit jantung.
Terkait dengan gaya hidup, tembakau menjadi sorotan WHO dalam kampanye mengurangi angka penyakit jantung di seluruh dunia karena kebiasaan merokok dapat menyebabkan penumpukan plak pada dinding pembuluh darah arteri.
Menanggapi hal tersebut, dr Renan menjelaskan, dalam setiap pembakaran rokok akan membentuk zat yang dapat meningkatkan radikal bebas dan beredar dalam darah.
“Radikal bebas dalam darah dapat merusak salah satunya Nitrid Oksid (NO), yaitu zat yang terdapat pada sel endhotel di dinding pembuluh darah yang berfungsi menjaga elastisitas pembuluh darah, mempertahankan tekanan darah, membantu aliran ke semua tempat pembuluh darah. Akibatnya pembuluh darah akan berkurang elastisitasnya dan dapat menyebabkan darah tinggi, serta resistensi insulin yang akhirnya mengakibatkan diabetes. Selain itu, akibat lainnya adalah darah mudah mengental dan mudah terjadi plak pada pembuluh darah, serta masuknya kolesterol pada pembuluh darah sehingga terjadinya penyempitan,” paparnya.
Selain sebagai penyebab kematian tertinggi, penanganan penyakit jantung tidaklah murah.
Terhitung pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan mencatat terjadinya peningkatan yang signifikan terkait dengan pembiayaan penyakit jantung, yakni sebesar Rp 7,4 triliun dari yang sebelumnya sebesar Rp6,9 triliun di tahun 2015.
Menanggapi hal ini, Dr dr Ardini Raksanagara, MPH Dosen Fakultas Kedokteran UNPAD merasa prihatin.
“Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah terus beranjak naik untuk penyakit tidak menular seperti jantung yang kita tahu banyak diantaranya diakibatkan oleh kebiasaan merokok,” ucap dr Mariatul.
“Sebenarnya ada alternatif cara lain yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini, namun harus diupayakan untuk mengatasi dari akarnya. Bagaimana caranya? salah satunya dengan mengurangi jumlah perokoknya terlebih dulu,” katanya.
Lebih lanjut Dr dr Ardini menjelaskan bahwasanya pengadopsian konsep harm reduction yang diterapkan di produk tembakau alternatif dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Namun demikian, Dr dr Ardini memahami bahwa memang dibutuhkan suatu proses bagi seorang perokok untuk dapat berhenti.
“Saya paham bahwa itu sulit, tapi bukan tidak mungkin. Dan ini bisa diupayakan. Jika berhenti langsung sangat sulit, mungkin bisa di pertimbangkan untuk mengadopsi konsep pengurangan bahaya tembakau, yaitu mengganti konsumsi rokok dengan produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah. Dengan kebiasaan ini, secara perlahan perokok mulai dapat mengurangi konsumsi rokok yang mana ini akan berdampak pada pengurangan dampak negatif lainnya,” jelas Dr dr Ardini.
Kenali Potensi, Belajar dari Negara Maju
Permasalahan mengenai angka perokok bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara maju juga mengalami hal serupa, seperti Korea Selatan.
Namun, pada tahun 2018, lebih dari satu juta perokok di negeri ginseng itu berhenti merokok dan beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar.
Peralihan tersebut diindikasikan karena adanya kesadaran perokok untuk mengonsumsi produk yang lebih rendah risiko.
“Bagaimana dengan kita di Indonesia? Rasanya saat ini kita belum menemukan solusi yang tepat untuk dapat menurunkan angka perokok. Saya rasa dengan melihat pada contoh yang dilakukan oleh negara maju dan bagaimana mereka mengimplementasikan peraturan bagi masyarakatnya ini yang harus digali dan dipelajari lebih dalam lagi,” ucap Dr dr Ardini.
“Sekarang ada salah satu cara dengan menggunakan produk tembakau alternatif yang telah terbukti berdasarkan beberapa penelitian bahwa produk ini lebih rendah risiko. Dan saya percaya kita semua harus turut ambil bagian untuk membantu dalam menurunkan jumlah perokok. Hanya sekarang kita butuh dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mulai mengerti bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Oleh karenanya kami sangat terbuka dan berharap bisa ikut membantu,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah juga dapat ikut membantu dengan menggali lebih jauh lagi untuk potensi produk tembakau alternatif, salah satunya dengan penelitian.
“Agar tidak ada lagi yang ragu lagi jika pemerintah bersedia duduk bersama untuk mencari solusi dengan menggunakan produk tembakau alternatif,” tutupnya.