TRIBUNNEWS.COM - Kesehatan global sudah seharusnya menjadi kepentingan dan tanggungjawab semua pihak.
Namun dalam kenyataannya, secara umum, baik pemerintah maupun masyarakat sering lupa untuk mempertimbangakan permasalahan kesehatan global dalam setiap pengambilan keputusan.
Sebagai upaya untuk merangkai kepingan puzzle tersebut menjadi gambaran yang utuh, INDOHUN menyelenggarakan pelatihan Global Health Diplomacy (GHD) 2.0 yang baru saja berakhir.
Pelatihan GHD yang kedua ini dibuka di Grand Bidakara Savoy Homann Hotel, Bandung, Indonesia pada 25 Agustus 2018 dan berakhir 29 Agustus 2018.
Antusiasme pendaftar GHD tahun ini melebihi ekspektasi penyelenggara. OH Technical Officer INDOHUN, Profesor Agus Suwandono menyatakan bahwa dari lebih dari 140 pelamar, hanya 40 dari mereka yang terpilih sebagai peserta GHD 2.0.
Agus menilai, pelaksanaan GHD tahun ini lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini didukung oleh proses pengorganisasian yang lebih sistematis dan masa persiapan yang lebih lama dari GHD yang pertama.
Pengalaman dari GHD sebelumnya juga berkontribusi pada kelancaran organisasi program ini, termasuk terkait dengan pemilihan peserta, pembicara dan pemilihan pelatih, dan organisasi acara.
Selama 2 hari pertama pelatihan, peserta GHD 2.0 diberi kuliah umum oleh pembicara internasional yang terkait dengan tata kelola kesehatan global, sistem kesehatan, negosiasi kesehatan global, kerangka kebijakan kesehatan, kepemimpinan kesehatan global, inovasi kesehatan dalam memperkuat sistem kesehatan global, kesehatan advokasi, dan praktik diplomasi.
Aidil Chandra Salim, tim ahli dari Badan Narkotika Nasiona, yang juga merupakan salah satu pembicara GHD 2.0, menunjukkan dukungannya untuk pelatihan GHD ini, meskipun beliau sudah pensiun dari Kementerian Luar Negeri RI.
"Saya melihat bahwa GHD ini adalah acara yang baik, yang membuat para peserta siap untuk menghadapi masalah kesehatan global. Program pelatihan ini diperkaya dengan tidak hanya denga masalah kesehatan global, tetapi juga dengan diplomasi dan aspek lain dari masalah internasional," ujarnya dalam keterangan, Selasa (4/9/2018).
Salah satu pembicara, Remco van de Pas dari Maastricht Centre for Global Health, University of Maastricht, Netherland dan Institute of Tropical Medicine, Antwerp - Belgium, menyatakan, siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk memahami konsep One Health.
"Bagaimana proses kebijakan dibuat, dan bagaimana hal itu dilakukan lintas sektor, antar orang yang berbeda," katanya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan M. Chandra W. Yuda, Direktur Kerjasama Politik-Keamanan ASEAN, Kementerian Luar Negeri, dalam wawancara selama acara GHD 2.0.
Menurutnya, dalam menghadapi tantangan global negara-negara harus bekerja sama untuk menjamin terciptanya perdamaian, keamanan dan kemakmuran di seluruh dunia.
"Perlu komitmen dari semua negara untuk membuatnya bekerja," paparnya.
Pelatihan dilanjutkan dengan multi stage negotiation simulation (MSNS) hingga akhir pelatihan. Dalam sesi MSNS, para peserta berperan sebagai delegasi dari berbagai negara ASEAN yang memiliki agenda, masalah, dan situasi yang berbeda.
Skenario dimulai dari munculnya wabah penyakit di beberapa negara. Para peserta harus menganalisis segala kemungkinan tantangan dan peluang untuk mengurangi dampak wabah dan mencegahnya menyebar di masyarakat, dalam sesi ini para peserta juga membahas sistem pendanaan dan kesepakatan bersama antar-negara untuk mengatasi masalah kesehatan yang muncul.
Dalam MSNS, kegiatan peserta dibagi menjadi sesi pleno, dan pertemuan pribadi dalam komunitas pertemuan keseluruhan atau bilateral.
Delegasi juga akan dihadapkan pada situasi dimana pers akan memberikan pernyataan terkait dengan masalah yang timbul, sehingga peserta dapat terlatih memberikan pernyataan dalam wawancara, konferensi pers, maupun dalam menyiapkan press release.
Artauli Tobing, Duta Besar Indonesia untuk Vietnam(2004-2007), yang memantau sesi MSNS menyatakan bahwa peserta GHD 2.0 menunjukkan potensi besar untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia.
Bukan hanya karena kefasihan mereka dalam berbahasa Inggris, tetapi juga kemampuan mereka untuk beradaptasi ke dalam mode diplomatik yang menciptakan nuansa diplomatik semakin kental selama pelatihan.
Para peserta menunjukkan kemajuan besar selama MSNS. Meskipun mereka memulai MSNS dengan kikuk dan kaku, seiring berjalannya waktu suasana semakin mencair.
"Sekitar 90% dari peserta memahami dengan sangat baik tentang bagaimana membuat pernyataan, bagaimana bereaksi dalam bahasa Inggris yang fasih, meskipun dalam kenyataannya mereka terkadang menggunakan kata-kata yang mungkin kurang diplomatis. Ini bisa dimengerti, karena diplomasi bukan sesuatu yang biasanya mereka lakukan," katanya.