Laporan Wartawan Tribunnews.com,Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berupaya menurunkan tingkat pemberhentian pemakaian (discontinuation rate) alat kontrasepsi.
Berdasarkan Studi Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, angka putus pakai alat kontrasepsi dengan seluruh metode mencapai 34 persen.
"Angkanya meningkat dari SDKI 2012 sebesar 27 persen," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Dwi Listyawardani di acara sosialisasi aplikasi Monika dan Praktek Mandiri Bidan-Tempat Magang di Cirebon, Jawa Barat, Jumat (12/10/2018).
"Putus pakai ini paling tinggi di metode suntikan. IUD dan implan juga proporsinya meningkat. Perlu ditanyakan, kenapa IUD, misalnya, yang seharusnya bisa lima tahun baru setahun dilepas. Perlu dicermati apa yang sebetulnya terjadi," imbuhnya.
Menurut Dwi, salah satu penyebab kondisi ini adalah alat kontrasepi tidak lagi bebas disediakan para bidan secara gratis, sehingga akseptor harus membeli alat tersebut.
"Dulu BKKBN bebas memberikannya ke para bidan. Sejak adanya program Jaminan Kesehatan Nasional, tidak bisa lagi bebas tetapi bidan harus masuk jejaring di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)," jelasnya.
Masalahnya, lanjutnya, sejumlah bidan menilai layanan terkait BPJS Kesehatannya klaimnya kecil dan proses pendaftarannya cukup rumit. Akibatnya, banyak praktek bidan mandiri yang belum mau masuk FKTP.
"Ini yang saya ingin bicarakan dengan BPJS Kesehatan agar nilai klaim dari bidan praktek mandiri lebih tinggi dibanding bidan di puskesmas karena mereka mandiri menyediakan sarana pelayanan," kata dia di hadapan sekira 75 bidan dan kepala perwakilan BKKBN dari sejumlah provinsi.
"Nanti kita bantu di lapanhan agar praktek mandiri bidan masuk ke sistem besar JKN."