News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Depresi karena Ijazah Ditahan, Dokter Muda di Papua Meninggal Dunia, Jokowi Diminta Cabut Aturan Ini

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan dokter yang tergabung dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia berdemo di depan pintu barat Monas, Jakarta Pusat, Kamis (19/7/2018), menuntut ijazah dokter mereka dikeluarkan

TRIBUNNEWS.COM - PERGERAKAN Dokter Muda Indonesia (PDMI) mengungkap ada seorang dokter muda di Kota Jayapura, Papua, dinyatakan meninggal dunia akibat depresi berkepanjangan.

Dokter muda bernama Clemens Wopari dari Fakultas Kedokteran Universitas Cendrawasih (UNCEN) ini meninggal dunia karena menderita dehidrasi.

"Rekan kami tidak mau makan dan minum, karena depresi. Ijazahnya yang selama ini ditunggu selama bertahun-tahun dari hasil pendidikan akademik di kampus, tidak kunjung diberikan," ungkap Ketua PDMI Tengku A Syahputra, Senin (8/4/2019).

Menurutnya, ijazah dokter tersebut ditahan karena tindak lanjut dari Permenristekdikti Nomor 11 Tahun 2016 tentang Sertifikat Profesi Dokter atau Dokter Gigi.

Aturan ini mengharuskan dokter muda untuk menempuh uji kompetensi, setelah itu mereka baru bisa memperoleh ijazah dokternya.

Baca: Malu dengan Dokter Muda Jadi Alasan Vina Panduwinata Berhenti Merokok

Tengku mengatakan, sebelum meninggal dunia, dokter muda Clemens Wopari sempat mengirimkan surat kepada Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan pada Kemenristekdikti Intan Ahmad, 24 Februari 2018 lalu.

Surat yang memakai tulisan tangan ini menjelaskan tentang keluhannya dalam menempuh pendidikan di dunia kedokteran.

Clemens mengeluh sudah 13 tahun mengenyam pendidikan di dunia kedokteran, namun tidak kunjung memperoleh ijazah.

Berbagai upaya untuk mendapat sertifikat profesi juga sudah ia tempuh, namun selalu gagal.

"Sampai pada hari ini (24 Februari 2018), atau sudah lima tahun 20 kali mengikuti Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD), dengan hasil yang sama saja, yaitu Tidak Lulus," tulis Clemens Wopari dalam surat itu.

Clemens merinci selama empat tahun dia mengikuti pendidikan akademik di kampus. Selama empat tahun pula dia mengikuti pendidikan profesi.

Baca: BJ Habibie Depresi hingga Diberikan Pilihan untuk Perawatan di Rumah Sakit Jiwa Usai Ditinggal Ainun

Terakhir, dia menunggu dilantik menjadi dokter umum selama lima tahun, sehingga bila ditotal sudah 13 tahun dia belajar di kedokteran.

"Berdoa, belajar, dan ujian. Itu yang saya lakukan selama ini. Di manakah letak kesalahan saya? Atau sistem ini yang menyusahkan saya?" Tanya Clemens.

Clemens juga memaparkan pada 2014 silam, dia masih diperbolehkan mengikuti uji kompetensi kedokteran yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Namun, yang terjadi selama ini, dia tidak diizinkan mengikuti ujian yang dimaksud oleh tempatnya menimba ilmu.

Lalu pada 12 Januari 2018, Clemens mencoba menghadap ke seorang dosen di sana untuk meminta Surat Keputusan Yudisium Profesi atau ijazah. Namun, Clemens diminta mencari bukti bahwa pernah diyudisiumkan.

"Pada 23 Januari 2018, saya mengirim pesan via WhatsApp kepada dr Samdey Rumbino dan jawabannya hasil rapat tidak bisa. Dengan alasan tidak ada SK dan belum dilantik," tulis Clemens.

Atas fenomena itulah, kata Tengku, maka PDMI mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Permenristekdikti Nomor 11 tahun 2016 tentang Sertifikat Profesi Dokter atau Dokter Gigi.

Sebelumnya, sekitar 2.700 dokter muda di Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, mengenai Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 11 Tahun 2016.

Ribuan dokter yang terdiri dari PDMI ini menilai, aturan yang dibuat oleh kementerian menghambat mereka untuk memperoleh ijazah dokter.

Ketua PDMI Tengku A Syahputra mengatakan, peraturan yang dibuat kementerian telah melanggar UU Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran Pasal 36, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PPU-XV/2017.

Peraturan itu, kata dia, justru mengubah pola mahasiswa yang lulus di fakultas kedokteran untuk mendapatkan ijazah dokter.

"Peraturan kementerian justru membalik polanya, kami diharuskan uji kompetensi dulu untuk mendapatkan ijazah dokter. Padahal, ijazah merupakan hak kami setelah mengikuti proses akademik di kampus," papar Tengku.

Menurut dia, alur selama ini yang diterapkan adalah mahasiswa akan mendapatkan ijazah setelah dinyatakan lulus sebagai dokter muda.

Mereka lalu melakukan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi sebagai syarat sumpah dokter.

Setelah itu, mereka akan mengantongi surat tanda registrasi dokter untuk melakukan praktik di lapangan.

Sedangkan bagi dokter muda yang tidak menerapkan ilmu kedokteran, tetap bisa menggunakan ijazah untuk mencari pekerjaan di luar bidang klinis.

Dengan dikeluarkannya Permenristekdikti ini, maka pola untuk mengantongi ijazah menjadi berubah. Setelah dinyatakan lulus akademik, mereka tidak mendapatkan ijazah.

Mereka diwajibkan uji kompetensi di fakultas kedokteran yang bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran, serta organisasi profesi.

Setelah dinyatakan lulus uji kompetensi, mereka baru memperoleh ijazah, sertifikat profesi, dan sertifikat kompetensi.

Sepengetahuan dia, pola seperti ini dimulai sejak keluarnya surat edaran Kemenristekdikti bernomor 598/E.E3/DT/2014.

Setahun kemudian, kementerian menerbitkan aturan baru, yaitu Permenristekdikti Nomor 18 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Kedokteran.

Pada 2016, kementerian memperbarui payung hukum itu dengan Permenristekdikti Nomor 11 tahun 2016.

Meski diperbarui, substansi dalam aturan itu tetap menitikberatkan mahasiswa diwajibkan mengikuti uji kompetensi, setelah itu mereka dapat mengantongi ijazah dokter.

"Semua peraturan tersebut berisikan hal yang sama. Peraturan ini telah menghalangi kami untuk mendapatkan ijazah dokter, padahal kami telah menyelesaikan semua proses pembelajaran dan telah dinyatakan lulus oleh Fakultas Kedokteran," papar Tengku.

Dia menjelaskan, uji kompetensi telah ada sejak 2006 silam, sebelum Permenristekdikti diterbitkan sebagai turunan dari UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 tahun 2013.

Namun, uji kompetensi digunakan sebagai syarat untuk praktik dokter. Jika tidak lulus, yang bersangkutan bisa menggunakan ijazahnya untuk bekerja di luar bidang klinis.

"Tetapi karena peraturan ini, kami terus dianggap sebagai mahasiswa, sampai masa studi habis (12 tahun), setelah itu kami bisa dikeluarkan (drop out) secara otomatis, padahal sudah dinyatakan lulus dari program studi dokter di masing-masing Fakultas Kedokteranm," jelasnya.

"Mau bekerja di luar bidang klinis pun tidak bisa, karena tidak ada ijazah kedokteran," imbuhnya.

Atas keluhan ini, ribuan dokter muda Indonesia meminta Presiden Joko Widodo agar turun tangan mencabut aturan itu.

Sebab, aturan yang dikeluarkan kementerian justru mempersulit mereka untuk memperoleh pekerjaan, terutama di luar bidang klinis yang diwajibkan melampirkan ijazah dokter. (Wartakota/Fitriyandi Al Fajri)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Dokter Muda di Papua Meninggal Dunia karena Ijazah Ditahan, Jokowi Diminta Cabut Aturan Ini, 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini