Laporan wartawan Tribun Network Fransiskus Adhiyuda, Theresia Felisiani, Apfia Tioconny Billy, Lusius Genik, Deodatus Pradipto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketersediaan antiretroviral (ARV) di Indoensia memasuki zona merah meskipun obat tersebut krusial bagi orang dengan HIV/AIDS. Selain ketersediaanya yang terbatas, harga ARV juga relatif mahal.
Tribun Network menelusuri ketersediaan ARV di apotek-apotek di Kota Depok, Jawa Barat pada Jumat (29/11) lalu. Seorang apoteker di apotek Kimia Farma di Kota Depok. Ketika Tribun Network menanyakan ketersediaan ARV di apotek tersebut, apoteker menjawab stok obat tersebut sedang kosong di gerai mereka.
"Stok kami sedang kosong, tapi kalau mau bisa coba dipesankan," ujar apoteker itu.
Tribun Network menanyakan jenis ARV yang mereka jual. Mereka menjual ARV jenis Neviral Neviprapine dan Duviral Lamivudine Zidovudine. Harga satu botol Neviral Nevirapine adalah Rp350.300,-, sedangkan Duviral Lamivudine Zidovudine adalah Rp429.000,- per botol.
Tribun Network kemudian menanyakan kapan obat-obat tersebut bisa didapatkan jika inden.
"Misalnya ada, nanti sore atau malam sudah ada, tapi kalau kita pesan sedikit, agak lebih lama," kata apoteker tersebut.
Informasi yang dihimpun Tribun Network, Kimia Farma adalah satu dari dua distributor ARV di Indonesia. Kimia Farma mendistribusikan ARV sejak 2004. Satu distributor lainnya adalah PT Indofarma Global Medika sejak Juli 2018. Hingga berita ini diturunkan Tribun Network belum mendapatkan konfirmasi dari Kimia Farma soal ketersediaan ARV di Indonesia.
Iman Abdurrakhman, advocacy officer Pusat Penelitian HIV/AIDS Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, menuturkan permasalahan ketersediaan ARV mungkin tidak terasa di DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun demikian, distribusi ARV tidak merata ke seluruh wilayah di Indonesia. Akibatnya, banyak orang dengan HIV dan orang dengan AIDS kesulitan melanjutkan perawatan.
"Di Jakarta belum terasa dampaknya. Di Manado banyak yang sudah putus. Mereka yang di sana sampai teriak-teriak," tutur Iman kepada Tribun Network di Jakarta, Jumat (29/11/2019) lalu.
ARV krusial bagi seorang ODHIV dan ODHA. Obat ini memang tidak bisa menyembuhkan mereka, namun setidaknya bisa mencegah virus HIV berkembang dan mengurangi risiko penularan. ODHIV dan ODHA harus minum obat ini secara disiplin, tepat waktu dan seumur hidupnya.
"Masih lebih baik kalau mengulang dari nol. Kalau nanti jadi resisten, bagaimana," kata Iman soal dampak yang bisa terjadi akibat perawatan HIV terganggu.
Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana mengatakan stok obat antiretroviral (ARV) yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menekan virus HIV/AIDS dalam tubuh orang dengan HIV/AIDS (ODHIV/ODHA) sudah menipis.
Aditya mengatakan beberapa obat ARV berada di ambang kekurangan atau dalam kondisi merah.
ODHIV dan ODHA kerap memutar otak untuk mengatasi ketersediaan ARV yang tipis atau bahkan kosong.
Aditya menuturkan banyak ODHIV dan ODHA yang saling pinjam obat di antara mereka. Hal ini dilakukan untuk memastikan mereka tetap berada dalam keadaan sehat.
Aditya Wardhana mengatakan konsumsi ARV dan kondisi sehat berkorelasi dengan stigma dan diskriminasi kepada ODHA. Semakin cepat ODHA diobati, maka stigma dan diskriminasi akan menurun.
"Edukasi dari ODHA sehat ke orang-orang jadi lebih mudah. Segeralah pemerintah sediakan obat yang aman dan memadai," kata Aditya kepada Tribun Network di kantornya, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Untuk membantu memastikan ketersediaan ARV, Indonesia AIDS Coalition membuka sistem pengaduan terbuka melalui laman Facebook ODHA Berhak Sehat. Jika ada yang mengadukan kekosongan IAC akan membantu melaporkan kepada Kementerian Kesehatan Subdit HIV untuk segera memastikan ketersediannya. Laporan di laman Facebook itu pun menjadi data lapangan.
"Pasien itu adalah pihak yang dirugikan ketika obat kosong. Dialah yang kemudian akan lebih dulu teriak dibandingkan layanan. Jadi kita ingin buka ruang publik seperti social monitoring untuk ruang transparansi akuntabilitas yang dijalankan pemerintah," tutur Aditya.
Langka Dalam Satu Bulan ke Depan
Aditya Wardhana menuturkan ketersediaan ARV yang menipis dapat diartikan dalam jangka waktu satu atau dua bulan ke depan ODHA yang mengonsumsi ARV akan menghadapi kesulitan dalam mengakses obat ARV karena stok obat habis. Aditya menilai respons pemerintah terkait pengadaan obat ARV ini dirasa kurang padahal dananya sudah tersedia dan bahkan beberapa obat sudah tercantum dalam E-Katalog.
Berdasarkan data yang didapat dari Kementerian Kesehatan mengenai stok ARV nasional per tanggal 22 November 2019, untuk obat ARV jenis TLE (Tenovofir, Lamivudin, Zidovudine) dengan jumlah pasien yang dalam pengobatan ARV jenis ini sebanyak 48.981 ODHA hanya tersisa 290.908 botol. Apabila dikalkulasikan stok tersebut hanya akan cukup untuk konsumsi 5,9 bulan ke depan.
Idealnya stok kecukupan ARV dikatakan dalam batas aman bisa dapat menyuplai kebutuhan selama sembilan bulan. Beberapa obat ARV ini masih diimpor sehingga memerlukan waktu yang cukup guna bisa didistribusikan kepada pasien.
"Status merah tidak hanya ARV jenis TLE. Ada beberapa obat lain yang masuk dalam status merah yaitu Abacavir 300mg, Efavirenz 200mg, Liponavir/Ritonavir, Tenofovir 300mg dan Zidovudine Emtricitabine," ujar Aditya.
Status stok obat-obatan tersebut semuanya tidak berada dalam batas aman. Stok terendah adalah obat ARV dari jenis Tenofovir 300mg. Stok yang tersisa hanya untuk 2,5 bulan dan dikonsumsi oleh 29.131 pasien. ARV jenis kombinasi Tenofovir Emtricitabine hanya dapat bertahan selama 1,5 bulan untuk 5.238 pasien.
"Dapat dipastikan, bisa pengadaan obat tidak segera dilakukan secepatnya, mulai dari bulan Januari 2020 ribuan ODHA akan mengalami putus obat. Angka kasus HIV sampai dengan bulan Oktober 2019 menunjukan bahwa dari estimasi 640.443 ODHA yang ada di Indonesia, baru terdapat 368.239 ODHA yang mengetahui statusnya dan hanya 124.813 orang yang masih dalam pengobatan," kata Aditya.
Data yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan Indonesia termasuk negara yang memiliki cakupan terapi ARV terendah di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2018, persentase cakupan terapi ARV di Indonesia hanya 17 persen. Cakupan terapi ARV Indonesia hanya lebih baik dari negara-negara dunia ketiga seperti Madagaskar, Pakistan, Afghanistan, Sudan dan Sudan Selatan.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara terburuk untuk cakupan terapi ARV. WHO tidak memiliki data cakupan di Brunei Darussalam dan Timor Leste. Berdasarkan data WHO, jumlah terlapor ODHIV yang menerima terapi ARV di Indonesia sepanjang 2018 adalah 108.000 orang. Estimasi jumlah ODHIV di Indonesia pada 2018 adalah 640.000 orang.
Toksisitas Rendah, tapi Manjur
ODHIV dan ODHA tidak hanya mengeluhkan ketersediaan ARV di Indonesia. Mereka juga meminta pemerintah memastikan kandungan yang terdapat pada ARV karena obat itu adalah satu-satunya obat yang memiliki toksisitas tinggi.
Aditya mengatakan karena respons tubuh yang berbeda-beda, ada ODHA yang mengalami keracunan obat. Untuk meminimalisasi hal tersebut, maka dibutuhkan obat bertoksisitas rendah, namun tingkat kemanjurannya tinggi.
Efek samping ARV ternyata juga membuat ODHA malas meminum obat. Hal ini bertolak belakang dengan efek positif yang ditimbulkan ARV, yaitu menjaga sistem kekebalan tubuh. Hal lain yang membuat ODHA/ODHIV malas minum obat adalah tahapan-tahapan yang harus mereka jalani untuk mengambil obat. Tahapan administrasi yang panjang tersebut juga membutuhkan biaya besar.
"Mereka mengambil di tempat yang mudah mendapatkan diskriminasi. Ditambah malas minum obat karena obat meninggalkan efek samping karena toksisitasnya," kata Aditya.
Sepi Maulana Ardiansyah, seorang ODHIV, mengaku tidak pernah memiliki masalah dalam mendapatkan ARV. Davi, sapaannya, mengonsumsi ARV jenis Efavirenz dan Duviral Lamivudine Zidovudine.
Davi mendapatkan obat-obatan itu secara cuma-cuma alias gratis. Namun demikian, Davi harus membayar biaya administrasi sebesar Rp80.000,-. "Aku dapat di Klinik Carlo, Rumah Sakit Sint Carolus. Gratis," ujar Davi kepada Tribun Network di Jakarta, Selasa (26/11).
Pria yang aktif sebagai relawan di Perkumpulan Inti Muda Indonesia itu mengatakan ketersediaan ARV di wilayah Jabodaetabek tergolong aman. Namun demikian, ODHIV dan ODHA harus menerima obat pecahan atau ARV yang jenisnya berbeda-beda.
"Ada info di daerah sedang stock out untuk beberapa jenis ARV," kata Davi.