TRIBUNNEWS.COM - Data menunjukkan, hingga Minggu (16/2) pukul 06.43 WIB, tercatat 69.032 kasus virus corona terkonfirmasi, 1.666 meninggal dan 9.390 sembuh.
China masih menjadi negara dengan jumlah korban terbanyak.
Sementara itu, negara-negara di luar China, Taiwan, Hong Kong dan Makau yang sudah terjangkiti virus corona adalah: Singapura, Thailand, Jepang, Malaysia, Australia, Jerman, Vietnam, Amerika Serikat, Prancis, Kanada, Uni Emirat Arab, Italia, Filipina, India, Inggris, Rusia, Nepal, Kamboja, Belgia, Spanyol, Finlandia, Swedia, Mesir dan Sri Lanka.
Hingga kini, para ahli masih terus berjibaku untuk menemukan pengobatan dari COVID-19, virus corona dari Wuhan.
Kabar terbaru, Kamis (13/2/2020) pejabat kesehatan senior China menyebut jika ada opsi pengobatan bagi pasien COVID-19.
Baca: Satu Penumpang Kapal Pesiar MS Westerdam Asal AS Positif Terinfeksi Virus Corona
Baca: Cerita Asri Welas Memompa ASI di Lokasi Syuting yang Angker, Sering Merinding Tapi Penasaran
Pejabat tersebut meminta orang yang telah pulih dari COVID-19 untuk menyumbangkan plasma darah mereka.
Alasannya, plasma dari penyintas itu mungkin mengandung protein berharga yang dapat digunakan untuk mengobati pasien yang terinfeksi virus corona.
Permintaan untuk menyumbangkan plasma darah itu diumumkan setelah perusahaan milik negara, China National Biotec Group menyebut antibodi tersebut membantu merawat 10 pasien yang kritis serta mengurangi peradangan mereka dalam 12 hingga 24 jam.
Pendekatan ini menurut ahli cukup logis dan menjanjikan untuk merawat pasien COVID-19 yang parah.
Orang yang baru saja pulih dari COVID-19 masih memiliki antibodi terhadap virus corona yang beredar dalam darah mereka.
Menyuntikkan antibodi ke pasien yang sakit secara teoritis dapat membantu pasien melawan infeksi dengan lebih baik.
Dengan kata lain, perawatan ini akan mentransfer kekebalan pasien yang pulih ke pasien yang sakit.
Pendekatan ini menurut Benjamin Cowling, profesor epidemiologi di University of Hong Kong sebelumnya telah digunakan pada pandemi flu.
Meski begitu dokter harus tetap waspada akan adanya kemungkinan efek samping.
Hal tersebut diungkapkan oleh Carol Shoshkes Reiss, profesor biologi dan ilmu saraf di New York University yang tak terlibat dalam penelitian.
"Saya senang mengetahui plasma dari para penyintas sedang diuji. Namun mereka perlu mengendalikan kemungkinan efek dari perawatan," ungkap Reiss, seperti dikutip dari Live Science, Jumat (14/2/2020).
Keraguan soal pendekatan ini juga disebutkan oleh Dr. Eric Cioe-Peña, direktur kesehatan global di Northwell Health New York.
Menurutnya akan lebih baik jika melakukan proses ilmiah untuk mencoba dan mempelajari perawatan menggunakan plasma darah sebelum memberlakukannya.
"Saya pikir perawatan itu merupakan ide yang bagus tetapi lebih baik melakukan prosedur normal untuk memastikan aman dan efektif sebelum diujikan pada seseorang," kata Cioe-Peña.
Antibodi sendiri merupakan protein yang dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus, bakteri, atau zat asing lainnya.
Namun dibutuhkan waktu bagi tubuh untuk meningkatkan antibodi yang sama sekali baru. Jadi jika ada virus atau bakteri yang sama mencoba menyerang lagi di masa depan, tubuh akan mengingat dan dengan cepat menghasilkan pasukan antibodi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ahli: Lawan Covid-19 dengan Plasma Darah Milik Pasien yang Sembuh"