TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus pandemi virus corona di Indonesia diperkirakan akan mencapai puncak pada pertengahan Mei 2020 ini dan kemudian turun.
Prediksi itu disampaikan dosen Biostatistika dan Kependudukan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Hari Basuki Notobroto.
Hari meneliti pandemi corona dengan menggunakan model probabilisitik. Hari menjelaskan, puncak transmisi virus Corona akan terjadi pada pertengahan Mei dan kemudian turun.
"Diperkirakan akhir bulan Juli atau permulaan Agustus mereda," ujar Hari dalam Webinar dengan topik Covid-19: Prediction and Exit Strategi, Sabtu (9/5/2020).
Baca: Menlu Retno: Pemerintah China Investigasi Kasus Kapal Ikan yang Pekerjakan ABK WNI
Dia mengatakan, dengan model penelitian cumulative probability prediksi tersebut memang dapat bergeser apabila terjadi perubahan walaupun cuma dua hari.
"Awalnya justru sekitar September menjadi akhir Juli atau awal Agustus," tutur Hari.
Baca: Luhut: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi Ketiga se-Asia
Berbeda dengan penelitian dari statistika UGM, Hari memprediksi puncak kasus Covid-19 sebesar 40.000 pasien positif.
Hari juga menggarisbawahi model yang dibuat oleh sejumlah pakar bersifat dinamis dan bisa berubah. Hanya berbeda waktu sehari-dua hari, hasilnya akan bergeser.
Baca: Sriwijaya Air Kembali Terbang Mulai 13 Mei 2020, Khusus Rute Domestik
Dia menyebut, perhitungan SUTD di awal yang memprediksi pandemi corona di Indonesia akan berakhir pada Juni.
Namun, dengan update data terbaru, ada pergeseran sampai 4 Mei maka prediksi berubah dan disebutkan pandemi di Indonesia baru akan berakhir di bulan September.
Guru Besar Statistika UGM Dedi Rosadi sebelumnya menyebut, pandemi Covid-19 akan berakhir pada 29 Mei 2020 dengan minimum total penderita positif sekitar 6.174 kasus.
Belakangan dengan data hingga 23 April, diprediksi virus corona di indonesia mereda akhir Juli 2020, dengan total kasus positif 31.000.
Sedangkan Presiden Joko Widodo menyebut akhir 2020 masyarakat baru dapat beraktivitas hampir seperti semula.
Hari menyebutkan, prediksi kasus bisa berubah di antaranya karena ketersediaan data dan kualitas data. Selama ini pihaknya mengakses data yang diumumkan pemerintah.
Sehingga apabila ada keterlambatan data atau data yang kurang berkualitas hal itu dapat memengaruhi model yang dihasilkan.
Pihaknya juga menjelaskan bahwa model prediksi kasus bukan seperti bola kristal yang pasti terjadi.
Sedangkan prediksi model bersifat dinamis dan tidak fixed.
"Hal itu untuk mengantisipasi efek yang tidak terduga. Prediski jangka pendek bisa lebih akurat daripada jangka panjang. Model tidak diinterpretasi berlebihan," papar dia.
Hari menyebutkan, apabila melihat model probabilistik dia lebih condong menyebut bahwa kasus dapat mereda ketimbang berakhir.
Baca: Janji KPK: Akan Lebih Serius Buru Para DPO, Langsung Ditahan dan Diumumkan di Konferensi Pers
"Apabila model deterministik angka kasus akan 0, namun dengan probalilitik tidak pernah mencapai nol, mendekati nol," ujar dia.
Pandemi dapat disebut mereka apabila indikator pandemi bisa dipantau.
Baca: 587 Pekerja Migran Indonesia Terpapar Covid-19, Menaker Ida Minta Atnaker Pro Aktif
Seperti jumlah kasusnya menurun dan kasus baru mendekati nol. Selain itu, tingkat reproduksi kasus baru yang semakin kecil, bisa di bawah 1.
"Jika melihat di China, tingkat reproduksi kasus awalnya dari 3,8 menjadi 0,5 di Hubei dan menjadi 0,1 di seluruh China," paparnya.
Selanjutnya, yang dapat diamati juga adalah indikator perilaku masyarakat.
Menurut dia, pandemi corona memberikan pelajaran pada masyarakat untuk membentuk perilaku kesehatan yang baru seperti kebiasaan mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak.
Laporan: Rizal Setyo Nugroho
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Riset Dosen Unair: Pandemi Corona Indonesia Mereda Awal Agustus.