News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

YLKI Gelar Diskusi Daring: Obat Covid-19 Wajib Penuhi Standar Kesehatan

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana diskusi daring bertajuk “Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Minggu (28/6/2020).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Saat ini di Indonesia terjadi suatu proses penemuan obat dan jamu baru untuk Covid-19, tapi wajib mengutamakan keselamatan pasien dan memenuhi standar-standar kesehatan yang ditetapkan berdasarkan Undang Undang (UU).

Demikian benang merah diskusi daring bertajuk “Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Minggu (28/6/2020).

Acara yang dipandu Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, menghadirkan pembicara di antaranya, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Dr dr Sukman Tulus Putra, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua Umum Persatuan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dr Inggrid Tania, Perwakilan Solidaritas Berantas Covid-19 Prof Akmal Taher, Direktur Regitrasi Obat BPOM, Lucia Rizka Andalusia, dan Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Dr Pandu Riono.

Ketua Harian YLKI Tulus Abadi. (Tribunnews.com/Adiatmaputra Fajar)

“Kita jangan terlalu mudah melakukan klaim dan kemudian menggunakan obat Covid-19 sebelum lolos uji klinis. Karena untuk register suatu obat memerlukan trial cukup valid. Sepengetahuan saya hingga saat ini belum ada obat Covid-19,” ungkap Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Dr dr Sukman Tulus Putra.

Ia mengatakan, di seluruh dunia belum ada obat yang betul-betul dapat digunakan untuk menyembuhkan Covid-19.

“Jangan terlalu mudah untuk mengklaim menemukan obat Covid-19. Karena tanpa lolos uji klinis tapi memaksakan untuk memproduksi dan memberikan ke pasien akan masuk pada pelanggaran disiplin dan etik. Fokus dan dukungan terhadap penelitian perlu kita berikan. Namun perlu diingatkan kepada yang melakukan penelitian jangan cepat-cepat mengklaim tanpa bukti dan lolos tahapan uji pra-klinis dan kemudian uji klinia yang pada dasar memerlukan waktu cukup lama demi efektifitas, manfaat dan keamananan dari obat tersebut terhadap manusia atau pasien yang mengkonsumsinya,” tutur Sukman Tulus Putra.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, apabila sudah ada obat yang memenuhi standar untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit agar didorong penggunaannya.

“Saya ingin seperti di Tiongkok, pengobatan modern dan tradisional berjalan seiring sejalan,” ujar Emanuel Melkiades Laka Lena.

Di sisi lain, Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Dr Pandu Riono mengingatkan semua pihak walaupun dalam situasi kedaruratan, semua tugas-tugas yang diamanatkan Undang Undang dalam prosedur pembuatan obat harus dipenuhi.

Misalnya, tentang obat Chloroquine. FDA telah mencabut otorisasi penggunaan darurat Chloroquine untuk Covid-19 karena tidak terbukti bermanfaat.

“Jadi, walaupun dalam situasi emergency, harus tetap memperhatikan keselamatan publik. Janganlah melampaui batas Tupoksi. Siapa pun, karena ini berbasis ilmu pengetahuan,” kata Pandu Riono.

Menurut Pandu Riono, semua pihak harus mengikuti prosedur untuk mengklarifikasi keabsahan obat tertentu. Sebab sudah terbukti ada sebagian obat yang diklaim sebagai obat Covid-19, ada yang bermanfaat dan ada juga tidak bermanfaat. Ini bisa membingungkan dan menyesatkan publik.

“Orang bilang ini riset, tapi bagaimana metodologinya? Bagaimana mungkin temuan dari sel langsung loncat menjadi clean bagi manusia. Seharusnya BPOM menyatakan ini belum bisa. Tidak perlu basa-basi,” katanya.

Lebih lanjut Pandu mengungkapkan, rapid test tidak ada manfaatnya untuk merespons pandemi. Sebab yang harus ditingkatkan adalah kemampuan PCR atau tes cepat antigen, bukan antibodi.

“Kita harus fokus, dan jangan kemana-mana. Sebab pada masa pandemi saat ini, sekitar 70-80% orientasinya adalah public health, bukan klinik dan pengobatan. Tidak ada cara-cara atau jalan pintas untuk mengklaim sesuatu. Ini harus dipatuhi,” jelas Pandu Riono.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini