Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diabetes adalah salah satu penyakit yang membawa beban ekonomi yang sangat besar, karena berbagai komplikasinya.
Semakin tidak terkontrol kadar gula darah, maka semakin mahal cost (biaya) yang harus dikeluarkan untuk perawatan medis.
“Yang mahal bukan diabetesnya, tetapi juga biaya untuk komplikasinya. Misalnya penyandang diabetes memiliki hipertensi, penyakit ginjal, atau jantung maka obat untuk komplikasi itu juga harus diteruskan,” kata Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD- KEMD, Ketua Perkeni (perkumpulan endokrinologi Indonesia) dalam siaran pers.
Berdasarkan data CHEPS Universitas Indonesia, jika tidak dilakukan intervensi di pelayanan kesehatan sejak dini, penanganan diabetes di pelayanan kesehatan diestimasikan mencapai Rp 199 triliun, di mana Rp 142 triiliun untuk pembiayaan komplikasinya saja.
Baca juga: Makanan dan Minuman yang Harus Dihindari Para Penderita Diabetes, Mulai Pasta hingga Yogurt
Baca juga: Bioskop di Jakarta Bakal Dibuka Lagi, Punya Penyakit Penyerta Dilarang Nonton
Komplikasi yang banyak diderita oleh pasien diabetes tipe 2 berupa mikrovaskular, seperti nefropati (penyakit ginjal), retinopati (kerusakan pembuluh darah di retina), dan makrovaskular seperti stroke dan penyakit jantung.
Belum lagi jika bicara biaya tidak langsung seperti hilangnya produktivitas kerja dan biaya transportasi bolak balik ke rumah sakit. Termasuk anggota keluarga pasien yang bisa berkurang bahkan hilang produktivitas kerja untuk menemani pasien.
Pasien diabetes di masa pandemi Covid-19
Salah satu penyakit penyerta atau komorbid pasien Covid-19 yang cukup berbahaya adalah diabetes.
Diabetes menempati urutan kedua setelah hipertensi sebagai penyebab keparahan dan kematian pasien Covid-19.
Pasien diabetes harus lebih waspada dan disiplin dalam menjaga kadar gula darah selama pandemi agar kondisinya sehat dan mencegah terjadinya komplikasi.
Namun, di saat yang bersamaan terdapat kekhawatiran untuk melakukan kontrol gula darah ke fasilitas kesehatan karena selalu dibayangi oleh penularan virus Covid-19.
Ketakutan pasien untuk mendatangi fasilitas kesehatan terlihat dari survey MarkPlus Industry Roundtable edisi ke 20 yang menunjukkan bahwa masyarakat semakin takut untuk mengunjungi rumah sakit sejak pandemi.
Sebanyak 71,8 persen responden mengaku tidak pernah mengunjungi rumah sakit ataupun klinik sejak adanya Covid-19.
Prof Ketut Suastika, SpPD- KEMD, mengatakan, pengelolaan diabetes sebelum maupun selama pandemi seharusnya tidak dibedakan.
“Sebagian masyarakat memang takut datang ke pelayanan kesehatan sehingga berimbas pada gula darah yang tidak terkontrol dan rawan komplikasi. Sebenarnya pemerintah sudah memberikan kelonggaran bagi penyandang penyakit tertentu untuk tidak mendatangi fasilitas kesehatan. Pasien yang terlalu berisiko bisa diwakili keluarga, asalkan bukan pasien baru. Pemerintah juga memberikan pengobatan untuk dua bulan sehingga kunjungan menjadi lebih jarang,” ujanya.
Puskesmas Diminta Lebih Berperan
Rapat Komisi IX DPR dengan Kemenkes dan jajarannya tanggal 17 November 2020, menyoroti persoalan ini.
Tingginya kematian pada pasien Covid-19 yang disertai penyakit penyerta seperti diabetes, salah satunya disebabkan pelayanan dasar di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP/Puskesmas) belum maksimal.
Tanpa intervensi yang agresif, dikhawatirkan pengelolaan diabetes semakin menurun, dan membuat pasien semakin rentan selama pandemi.
Baik rentan komplikasi maupun rentan mengalami keparahan dan kematian saat tertular Covid-19
Hal itu dinyatakan oleh anggota Komisi IX DPR, Dr. Hj. Netty Prasetiyani, M.Si.
Berbagai upaya memang mesti dilakukan, salah satunya melakukan inovasi pelayanan publik untuk pasien diabetes di Puskesmas. Puskesmas adalah fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat, oleh karena itu harus lebih diberdayakan.
“Di awal pandemi pemerintah cukup kedodoran, namun kita maklum karena semua masih belajar bagaimana menyiapkan protokol Covid-19 dan memperkuat SDM untuk penanganan korban. Namun sekarang sudah lebih dari 8 bulan pandemi, seharusnya sudah tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak membenahi pelayanan di Puskesmas,” lanjut Netty.
Menurut Netty, Komisi IX DPR RI mendesak Kementerian Kesehatan untuk mengoptimalkan penanganan penyakit penyerta Covid-19, termasuk diabetes, dengan cara memperkuat berbagai layanan dasar di FKTP.
Pelayanan minimal yang harus adalah adalah deteksi dini diabetes, cek gula darah, dan memastikan ketersediaan obat-obatan antidiabetes, termasuk insulin.
Selain itu melakukan langkah mitigasi, yakni bagaimana mencegah agar pasien dengan komorbid yang berisiko mengalami gejala sedang hingga berat saat terinfeksi Covid-19, bisa diminimalisasi.
“Edukasi juga harus terus dikedepankan sebagai salah satu upaya promotif dan preventif. SDM di Puskesmas bisa menggandeng komunitas-komunitas di masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya pengelolaan diabetes selama pandemi. Komunitas ini biasanya lebih didengar oleh masyarakat,” ujar Netty.
Ia menegaskan, diabetes adalah mother of disease (ibu dari penyakit).
Dampak diabetes tipe 2 ini bisa menggerus pendanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di masa mendatang jika tidak ditangani dengan sangat serius.
Diabetes tipe 1 behubungan dengan keturunan. Sementara tipe 2 disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Seperti mengonsumsi makanan berlemak, manis, jarang olahraga, dan obesitas.
"Tangani sejak di hulu, ketika penyakitnya masih di tahap dini,” tegas Netty.(*/Lis).