Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM - Tidak pernah dibayangkan oleh Nita (42) yang harus kehilangan penglihatan alias buta sejak tujuh tahun silam.
Pengelihatannya ini 'direngut' akibat penyakit diabetes melitus (DM) yang tidak terkontrol.
Saat masih usia 20 tahunan, Nita memang memiliki gula darah rata-rata 250 mg/dL. Gula normal berada di angka 140 mg/dL.
Kedua orangtua nya pun memiliki penyakit DM. Bahkan ayahnya meninggal akibat serangan jantung akibat komplikasi DM saat Nita kuliah di tahun pertama.
Sementara ibunya memiliki luka yang tak kunjung sembuh juga akibat DM.
Namun, kondisi kedua orangtuanya tersebut belum membuat Nita tergerak untuk berobat teratur.
Baca juga: Tidak Semua Buah Baik untuk Penderita Diabetes, Apa Saja yang Disarankan untuk Dikonsumsi?
Alasannya cukup klise, merasa masih muda dan tidak merasakan keluhan. Gula darah setinggi itupun diabaikan.
Terlebih ia juga rajin olahraga walaupun berat badannya agak berlebih. Lambat laun, kenaikan gula darahnya semakin tinggi dan ternyata mempengaruhi matanya.
Penglihatannya terganggu. Hal itulah yang menggerakan dirinya ke dokter.
Sayangnya sudah terlambat. Walaupun sempat dilakukan pembedahan, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Sejak tujuh tahunpun Nita menyandang tuna netra.
Kebutaan adalah dampak serius dari diabetes mellitus yang jarang diketahui sebagian besar masyarakat, bahkan oleh penderita diabetes sendiri.
Baca juga: 11 Gejala Diabetes pada Anak-anak dan Remaja: Rasa Haus Berlebihan hingga Sering Buang Air Kecil
Risiko gangguan mata hingga kebutaan akibat diabetes disebut retinopati diabetik, dan merupakan 3 besar komplikasi diabetes terbanyak dan penyebab kebutaan global ke-5 terbesar.
Dr. Yeni D Lestari, SpM(K) mengatakan, lebih dari 60 persen pasien diabetes mellitus memiliki gangguan penglihatan.
Penyebabnya berbagai kelainan semisal katarak, kelainan refraksi, glaukoma, retinopati diabetik, dan lain lain.
Faktanya, banyak pasien yang tidak memeriksakan matanya karena belum memiliki keluhan atau tidak sempat periksa mata karena harus berobat untuk kompllikasi diabetes mellitus lainnya.
“Pemeriksaan/skrining mata pada pasien diabetes mellitus sangat penting untuk mencegah kebutaan dan harus menjadi bagian dari layanan rutin yang disediakan oleh fasilitas kesehatan terutama di fasilitas kesehatan primer,” tutur dr Yeni di acara Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) pada Jumat (11/12/2020).
Tanpa Gejala
Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Retinopati diabetik terjadi saat kadar darah yang tinggi merusak pembuluh darah di retina mata.
Pembuluh darah akan bocor sehingga muncul bintik-bintik perdarahan di retina. Hal ini menyebabkan penglihatan kabur hingga buta.
“Kerusakan pada retina ini sering tidak dirasakan oleh pasien terutama pada fase-fase awal penyakit, sehingga banyak pasien yang datang berobat pada keadaan yang sudah lanjut; dan perlu diingat Kondisi ini akan bersifat permanen apabila tidak segera ditangani dengan tepat," jelas Prof. dr. Arief S Kartasasmita, SpM(K), PhD.
Sebelum mengalami kebutaan, bisa dilakukan skrining dengan kamera fundus, foto retina. Bisa dilakukan perawatan laser dan pembedahan.
Ia menjelaskan, pemeriksaan mata secara teratur diperlukan untuk mendiagnosa retinopati diabetik pada tahap awal, sehingga dapat diberikan terapi yang akan mencegah kebutaan.
Program skrining di populasi akan efektif menurunkan angka kebutaan jika diatas 70 persen pasien DM mengikuti program.
Pemeriksaan mata pada pasien diabetes adalah intervensi yang paling hemat biaya untuk komplikasi diabetes.
"Fakta nasional retinopati diabetik merupakan fenomena gunung es. Baru 30 persen DM didiagnosis dan hanya 30 persen yang melakukan kontrol dengan baik," kata Prof Arief.
Berdasarkan hasil survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) yang dilakukan oleh Perdami dalam kurun 2014 hingga 2016, sebanyak delapan juta orang mengalami gangguan penglihatan, 1,6 juta menderita kebutaan, dan 6,4 juta menderita gangguan penglihatan skala sedang hingga berat.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 2,2 miliar orang secara global memiliki gangguan penglihatan atau kebutaan.
Sekitar 1 miliar orang diantaranya memiliki gangguan penglihatan yang sebenarnya bisa dicegah atau belum ditangani, dan 3 juta orang memiliki gangguan pengelihatan atau buta akibat retinopati diabetik.
Era pandemi
Di era pandemi saat ini, para dokter menyarankan penderita diabetes harus tetap menjaga agak gula darah tetap terkontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi termasuk gangguan penglihatan.
"Walaupun masih pandemi, para pasien diabetes diimbau untuk tetap melakukan konsultasi dan pemeriksaan rutin, tentunya dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Hal ini perlu dilakukan guna memastikan penyakitnya tetap terkendali serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya perburukan penglihatan," jelas Prof. dr. Arief.
Dalam upaya pencegahan dan penanganan dini gejala retinopati diabetik pada penderita diabetes di Indonesia, Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) bersama Novartis Indonesia mengadakan kampanye “Fight Against Blindness from Diabetes.”
Dalam kampanye tersebut akan dilakukan pemeriksaan sebanyak 10,000 pasien diabetes di beberapa kota besar Indonesia.
“Selain screening, disejumlah puskesmas, klinik dan rumah sakit, kami juga mengedukasi pasien dan juga masyarakat luas mengenai risiko buta akibat Diabetes Mellitus. Kampanye ini bersinambung dengan semangat peringatan Hari Pengelihatan Dunia pada 14 Oktober lalu dan Hari Diabetes Sedunia pada 14 November,” jelas dr. M Sidik, SpM(K), Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia.
Dr. M Sidik mengatakan di era pandemi Covid-19, para penderita diabetes agar tetap menjaga kesehatan. Apalagi, kondisi tubuh lebih rentan karena harus lebih banyak berdiam diri di rumah dan memiliki keterbatasan ruang gerak.
Hanum Yahya, Country Head of Public Affairs, Communications & Patient Advocacy Novartis Indonesia mengatakan, untuk dapat mencegah dan mengobati Retionopati Diabetik diperlukan pemeriksaan dini agar dapat diketahui perawatan serta pengobatan yang tepat.
Data yang akurat dapat juga memberikan indikasi beban sosial dan ekonomi yang dapat disebabkan oleh kebutaan.