TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di saat konsentrasi masyarakat dunia sedang fokus mengatasi pandemi Covid-19 melalui program vaksinasi, kini muncul ancaman baru yang datang dari virus Nipah.
Para ilmuwan sekarang terus melakukan penelitian terhadap virus yang belum ditemukan vaksinnya tersebut. Penelitian dilakukan demi mencegah munculnya pandemi lagi di seluruh dunia.
Salah seorang ilmuwan yang ditugaskan meneliti virus Nipah adalah Supaporn Wacharapluesadee. Supaporn adalah warga negara Thailand yang pada awal pandemi Covid-19 terjadi ditugaskan pemerintah negara gajah putih itu untuk melakukan penelitian terhadap para penumpang pesawat terbang yang baru saja tiba dari Wuhan, China.
Ia memimpin Thai Red Cross Emerging Infectious Disease-Health Science Centre, lembaga penelitian yang meneliti penyakit-penyakit infeksi baru (emerging), di Bangkok.
Selama 10 tahun terakhir, ia menjadi bagian dari Predict, ikhtiar global untuk mendeteksi dan menghentikan penyakit yang dapat melompat dari hewan ke manusia.
Ketika mendeteksi Covid-19, Supaporn dan timnya mendapati bahwa selain merupakan virus baru yang tidak berasal dari manusia virus tersebut berkerabat dekat dengan jenis virus corona yang telah ditemukan pada kelelawar.
Baca juga: Menkes: Semua Epidemiolog Bilang untuk Atasi Pandemi Harus Kurangi Laju Penularan Virus
Sepanjang kariernya, Supaporn dan para kolega telah meneliti ribuan sampel kelelawar dan menemukan banyak virus baru. Sebagian besarnya adalah virus corona, tapi juga ada banyak penyakit mematikan lain yang dapat menular ke manusia.
Baca juga: Perlihatkan Jenazah Pasien Covid-19, Anies: Virus Itu Bukan Fiksi, Bukan Sekadar Angka Statistik
Termasuk virus Nipah yang diduga dibawa oleh sejenis kelelawar pemakan buah. "Ini sangat mengkhawatirkan karena belum ada obatnya dan tingkat kematian yang disebabkan virus ini tinggi," kata dia, Rabu (27/1/2021) seperti dikutip dari BBC.
Supaporn dan tim menemukan, tingkat kematian virus Nipah berkisar antara 40 hingga 75 persen, tergantung lokasi terjadinya wabah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini juga sedang meninjau daftar panjang patogen yang dapat menyebabkan darurat kesehatan masyarakat untuk memutuskan prioritas anggaran riset dan pengembangan mereka.
Mereka fokus pada patogen yang paling mengancam kesehatan manusia, yang berpotensi menjadi pandemi, dan yang belum ada vaksinnya.
Ada beberapa alasan yang membuat virus Nipah begitu mengancam. Periode inkubasinya yang lama (dilaporkan hingga 45 hari, dalam satu kasus) berarti ada banyak kesempatan bagi inang yang terinfeksi, tidak menyadari bahwa mereka sakit, untuk menyebarkannya. Dapat menginfeksi banyak jenis hewan, menambah kemungkinan penyebarannya. Dapat menular baik melalui kontak langsung maupun konsumsi makanan yang terkontaminasi.
Seseorang yang terinfeksi virus Nipah dapat mengalami gejala-gejala pernapasan termasuk batuk, sakit tenggorokan, meriang dan lesu, dan ensefalitis, pembengkakan otak yang dapat menyebabkan kejang-kejang dan kematian. Singkatnya, ini adalah penyakit yang sangat berbahaya bila tersebar.
Kepala Unit Virologi di laboratorium penelitian Institut Pasteur di Phnom Penh, Kamboja, Veasna Duong menyebut manusia dapat terpapar virus Nipah melalui kontak dengan kelelawar. "Setiap interaksi manusia dengan kelelawar dapat dianggap sebagai interaksi berisiko tinggi. Paparan seperti ini dapat menyebabkan virus bermutasi, yang dapat menyebabkan pandemi," ujarnya.
Misalnya di pasar Battambang, kota di Sungai Sangkae di barat laut Kamboja. Ribuan kelelawar buah hinggap di pepohonan sekitar pasar, berak, dan kencing pada apapun yang lewat di bawahnya. Bila diamati dari dekat, atap kios-kios di pasar penuh dengan tahi kelelawar.
"Manusia dan anjing liar berjalan di bawah sarang-sarang, terpapar urine kelelawar setiap hari," kata Veasna Duong. Kontak manusia dengan kelelawar juga ditemukan di berbagai tempat lainnya. "Kami mengamati (kelelawar buah) di sini dan di Thailand, di pasar-pasar, tempat ibadah, sekolah, dan lokasi turis seperti Angkor Wat - ada sarang besar kelelawar di sana," ujarnya.
Angkor Wat yang biasa dikunjungi 2,6 juta orang setiap tahun, berarti 2,6 juta kesempatan bagi virus Nipah untuk melompat dari kelelawar ke manusia setiap tahun, hanya di satu lokasi. Dari 2013 hingga 2016, Veasna Duong dan timnya meluncurkan program pemantauan GPS untuk memahami kelelawar buah dan virus Nipah, dan membandingkan aktivitas kelelawar Kamboja ke kelelawar lain di wilayah-wilayah 'hotspot' lainnya. Di antara wilayah-wilayah ini adalah Bangladesh dan India.
Kedua negara pernah mengalami wabah virus Nipah, yang kemungkinan besar terkait dengan kebiasaan meminum jus kurma. Pada malam hari, kelelawar yang terinfeksi terbang ke perkebunan kurma dan menghisap sari buahnya saat keluar dari pohon. Saat mereka makan, mereka biasanya kencing di pot pengumpulan. Warga setempat yang tidak tahu apa-apa membeli jus dari pedagang keesokan harinya, meminumnya dan terinfeksi oleh virus Nipah.
Pandemi Bangladesh
Dalam 11 wabah di Bangladesh dari 2001 hingga 2011, 196 orang dikonfirmasi terinfeksi Nipah dan 150 orang di antaranya meninggal dunia. Jus kurma juga populer di Kamboja, tempat Veasna Duong dan timnya menemukan bahwa kelelawar buah di Kamboja terbang jauh sampai 100 kilometer setiap malam untuk menemukan buah. Ini berarti masyarakat di wilayah ini perlu menyadari bahwa mereka tidak hanya dekat dengan kelelawar tapi juga mungkin mengonsumsi produk yang terkontaminasi olehnya.
Veasna Duong dan timnya juga mengidentifikasi situasi berisiko tinggi lainnya. Tahi kelelawar (disebut guano) populer sebagai bahan pupuk di Kamboja dan Thailand, dan di wilayah pedesaan yang minim lapangan pekerjaan, tahi kelelawar bisa jadi cara mencari nafkah. Veasna Duong mengidentifikasi banyak lokasi tempat warga setempat secara aktif mendorong kelelawar buah, yang juga dikenal sebagai rubah terbang, untuk berak di dekat rumah supaya mereka dapat mengumpulkan dan menjual guano. Namun banyak pengumpul guano tidak memahami risiko yang mereka hadapi dalam melakukan pekerjaan itu.
"Enam puluh persen orang yang kami wawancarai tidak tahu bahwa kelelawar dapat menularkan penyakit. Pengetahuan mereka masih kurang," kata Veasna Duong. Ia percaya bahwa edukasi warga setempat akan ancaman yang dibawa kelelawar perlu dilakukan.
Nipah Malaysia
Berdasarkan catatan, virus Nipah pertama kali muncul di Malaysia pada tahun 1999. Virus menyerang para peternak babi di negeri Jiran. Infeksi virus Nipah dapat didiagnosis dengan riwayat klinis selama fase akut dan fase penyembuhan penyakit. Tes identifikasi utama yang digunakan adalah reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dari cairan tubuh dan deteksi antibodi melalui enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes lain yang digunakan adalah uji polymerase chain reaction (PCR), dan isolasi virus dengan kultur sel.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan(Kemenkes) Didik Budijanto mengatakan pemerintah saat ini juga dalam sikap waspada terkait adanya potensi virus Nipah di saat pandemi covid-19 belum berlalu. "Indonesia harus selalu waspada terhadap potensi penularan virus nipah dari hewan ternak babi di Malaysia melalui kelelawar pemakan buah," jelasnya.
Didik menyebut pihaknya sekarang mewaspadai migrasi kelelawar buah yang dianggap menjadi inang alami virus Nipah. Migrasi tersebut diketahui masuk dari semenanjung Malaysia ke pulau Sumatera. "Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya kelelawar buah bergerak secara teratur dari Semenanjung Malaysia ke Pulau Sumatera khususnya Sumatera Utara," ujarnya.(Tribun Network/bbc/kps/cnn/wly)