TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keragaman hayati melimpah, inovasi tepat guna, kemitraan dengan industri, serta dukungan pemerintah dapat menjadi landasan kemandirian Indonesia dalam pengembangan dan penyediaan obat-obatan, juga teknologi medis.
Hal ini mengemuka dalam webinar ‘Ketahanan dan Kemandirian Kesehatan Indonesia’ yang berlangsung Kamis (25/3/2021).
“Keanekaragaman hayati yang kita miliki menyediakan komponen produk farmasi mulai dari bahan aktif obat, eksipien, bahan tambahan, reagens, enzim, sistem ekspresi, hingga system assays. Melalui kemandirian bahan baku, kemandirian riset dan pengembangan, serta kemandirian produksi, kita dapat membangun kemandirian obat asli Indonesia,” demikian pemaparan Guru Besar Mikrobiologi dan Bioteknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Prof Dr Amarila Malik, MSi, Apt. dalam kegiatan yang ditaja oleh Majelis Wali Amanat UI (MWA UI) bersama Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Dan Inovasi Nasional
Apa yang disampaikannya merespon pengantar Ketua MWA UI yang juga Managing Director Sinar Mas, Saleh Husin, jika pandemi Covid-19 menjadikan obat herbal asal Tiongkok sangat populer dalam membangun daya tahan tubuh, hal yang semestinya mampu pula dilakukan Indonesia dengan khazanah obat herbal tradisional yang kaya.
Menurut Amarila langkah yang dapat ditempuh adalah melalui pembangunan infrastruktur bioteknologi terintegrasi yang mewadahi seluruh ekosistem industri farmasi secara menyeluruh atau high throughput system, sehingga memacu hadirnya lebih banyak perusahaan farmasi, berbarengan dengan dukungan riset yang mumpuni.
“Ketersediaan stimulus ekonomi dari pemerintah dapat mendorong langkah pengembangan secara berkelanjutan sehingga hasil riset dapat berlanjut dari skala laboratorium, ke skala bench, lalu skala pilot sebelum ke skala industri. Para pihak perlu menyepakati, siapa yang berperan, dan bagaimana pembagian tanggung jawabnya,” ujarnya.
menilai kemampuan sumber daya manusia Indonesia berinovasi dalam bidang teknologi kesehatan tidak kalah dengan negara maju. Senada dengan Amarila, dirinya menyarankan langkah inovasi alat-alat kesehatan dilangsungkan melalui model triple helix, di mana kalangan akademik bergerak bersama sektor privat, dengan dukungan pemerintah.
“Akselerasi dapat dilakukan melibatkan media massa dalam mendiseminasikan dan mempromosikan inovasi tersebut, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk yang tengah dikembangkan menguat. Dampak pendekatan penta helix ini, kecintaan terhadap produk dalam negeri turut meningka,” ujarnya.
Terkait kemandirian layanan kesehatan,
di tempat yang sama menyebut pentingnya penyelenggara pendidikan kedokteran di Indonesia untuk melakukan adaptasi segera, namun terukur sesuai situasi pandemi.
Dirinya tak meragukan komitmen serta motivasi para mahasiswa untuk hadir di fasilitas pelayanan kesehatan guna menjangkau publik, terlebih lagi, ada proses pendidikan yang harus dilaksanakan secara langsung, atau offline.
Menurutnya butuh keberanian dan keterbukaan antara para pihak, baik pihak kampus maupun pengelola rumah sakit dalam memfasilitasi mahasiswa kedokteran berpraktik.
"Misalnya pihak rumah sakit membedakan pasien-pasien yang masuk kategori merah atau kuning, sehingga kita merasa aman ketika menempatkan mahasiswa di sana," ujarnya.