TRIBUNNEWS, YOGYAKARTA - Olahraga bertujuan untuk mendapatkan tubuh yang sehat dan bugar.
Namun, kalau melakoninya secara gegabah dan tanpa persiapan, olahraga justru bisa membuat seseorang mengalami cedera.
Kalau hal itu sampai terjadi, penanganan pertama jelas tidak bisa dikesampingkan. Tujuannya agar cedera tidak berkelanjutan. Sayang, saat ini, banyak orang belum menyadari arti penting penanganan cedera.
Banyak orang yang sudah tahu mengalami cedera, tetapi tetap nekat melanjutkan berolahraga.
Untuk mengorek lebih jauh penanganan cedera saat berolahraga, Reporter Tribun Jogja, Susilo Wahid dan Hanif Suryo, mewawancai fisioterapis PSS Sleman, Lutfinanda Amary, baru-baru ini.
Apa kabar? Saat ini sedang sibuk apa?
Sekarang saya tengah sibuk mendampingi para pemain PSS menjalani pramusim. Mereka sedang intens berlatih mengingat Liga 1 musim ini kemungkinan bakal dimulai 10 Juli 2021 mendatang.
Bagaimana Anda mengawali karier sebagai fisioterapis di sepak bola?
Sebelum di PSS musim 2020 lalu, saya jadi fisioterapis skuat Tim Nasional (Timnas) U-19 Indonesia pada 2019 di bawah asuhan Fakhri Husaini. Ketika itu, ada kiper dan penyerang muda PSS, Adi Satryo dan Saddam Emiruddin Gaffar.
Sebelum Timnas U-19, saya menjadi fisioterapis di Borneo FC selama empat musim. Saya nggak punya latar belakang sepak bola. Cuma hobi. Piala AFC 2007 yang mengubah pola pikir saya. Ketika itu, Indonesia didapuk menjadi tuan rumah.
Saya lihat penonton di Stadion Utama Gelora Bung Karno sangat banyak. Penonton memenuhi setiap sudut stadion. Saya pun melihat peluang di sana. Bukan pemain atau pelatih, saya ingin menjadi bagian yang selalu ikut di dalam tim.
Saya belum punya pikiran menjadi fisioterapis. Sebab, dalam benak saya saat itu, tim medis dalam setiap klub haruslah dokter. Ternyata anggapan saya keliru. Saya kemudian menjajal peruntungan sebagai fisioterapis di klub sepak bola.
Apa, sih, tugas spesifik seorang fisioterapis di sebuah tim?
Tugas fisioterapis kala pramusim adalah mengecek kondisi fisik para pemain setelah masa libur.
Untuk pemain lama, kami punya data-datanya. Nah, kalau pemain baru, saya hanya punya data penunjang medis yang terkadang tidak sesuai.
Biasanya, pelatih sudah naksir banget kepada kemampuan si pemain. Ia minta supaya pemain tersebut segera dikontrak.
Ternyata setelah dicek, kondisinya rentan atau punya cedera tetapi belum pulih. Problem seperti itu sering terjadi.
Awal merintis karier sebagai fisioterapis, saya bingung ketika menghadapi permasalahan tersebut.
Paradigmanya, cara main pemain sesuai konsep tim, pelatih telanjur suka, tetapi data penunjang medis ternyata sekadar formalitas.
Kendati demikian, sepak bola Indonesia semakin maju. Kini, data medis jadi tolok ukur.
Sebut saja data cedera, organ-organ vital, serta tes darah dan urine lantaran sangat berkaitan dengan performa pemain saat berlatih maupun bermain.
Pemeriksaan medis selama pramusim benar-benar penting untuk mengecek kondisi pemain lama maupun pemain baru.
Data-data mereka akan menjadi penunjang program dan strategi tim selama latihan maupun mengarungi kompetisi.
Bagaimana peran fisioterapis ketika ada pemain cedera di lapangan?
Ada paradigma yang harus diluruskan. Saat pertandingan, fisioterapis cuma bawa es dan semprotan painkiller.
Padahal, apa yang terlihat di lapangan sebenarnya cuma 15 persen dari tugas keseluruhan seorang fisioterapis di tim.
Ketika road to match, sebelum sampai menjelang pertandingan, peran fisioterapis sangat vital.
Kalau pas pertandingan, tugas fisioterapis lebih ke manajemen darurat cedera dari ujung kuku kaki sampai ujung kepala untuk antisipasi risiko.
Kalau bicara soal cedera dalam olahraga, apakah bisa diminimalisasi?
Sangat bisa. Contohnya sakit stroke. Stroke bukan penyakit yang muncul tiba-tiba, melainkan ada sesuatu yang memantik, semisal diabetes, hipertensi, atau kolesterol.
Nah, faktor risiko menuju stroke tersebut yang seharusnya kita kontrol.
Demikian pula dengan cedera. Cedera berarti ada kerusakan di struktur tubuh.
Entah tulang, sendi, otot, tendon, ligamen, meniskus, atau lainnya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi. Satu di antaranya pemanasan yang kurang baik.
Contoh lain, begadang sebelum melakukan aktivitas olahraga pada hari berikutnya juga sangat berpengaruh.
Sebab, suplai oksigen ke otak menjadi tidak sebaik biasanya. Akibatnya, seseorang merasa mengantuk serta kurang konsentrasi.
Pemanasan seperti apa yang umumnya harus dilakukan sebelum berolahraga?
Pemanasan yang baik harus menyesuaikan olahraga yang bakal dilakoni.
Sebagai misal akan berolahraga futsal, sepak bola, atau basket, pemanasan yang dilakukan lebih kepada aktivasi otot. Jangan justru pemanasan static stretching.
Sebelum bermain futsal, sepak bola, atau basket, sebaiknya lakukan dynamic stretching atau pemanasan sambil bergerak.
Tujuannya untuk membuat tubuh beradaptasi. Sebab, saat bertanding, benturan tidak bisa dihindari.
Lain hal, kalau akan berolahraga yang dipisahkan oleh net atau jaring seperti bulu tangkis atau tenis, lebih disarankan melakukan dynamic stretching tapi fokus ke lari pendek dan gerakan eksplosif. Prosesnya lebih ke posisi static.
Apakah ada makanan khusus yang harus dikonsumsi untuk meminimalisasi potensi cedera?
Orang Indonesia terbiasa makan sampai kenyang. Padahal, di keilmuan, makan harus minimal 2,5 jam sampai tiga jam sebelum olahraga.
Sebab, ketika lambung dalam posisi penuh, peluang asam lambung naik cenderung lebih tinggi.
Hal tersebut yang biasanya membuat performa turun meski tidak berdampak langsung ke cedera.
Jadi, jam makan sebaiknya lebih menyesuaikan ritme bertanding. Usahakan makan minimal 2,5 jam sampai tiga jam sebelum kita berolahraga.
Bagaimana penanganan pertama yang tepat ketika mengalami cedera?
Apapun jenis cedera, baik persendian, engkel, bahu, atau otot tertarik, tindakan yang baik adalah RICE atau rest, ice compress, compression, dan elevation.
Langsung istirahatkan area yang mengalami cedera. Bukan istirahat tubuh total, ya.
Setelah istirahat, bagian yang cedera langsung dikompres pakai es selama 15 menit untuk merangsang fase perbaikan.
Sebab, setelah cedera, akan ada fase inflamasi selama 2 x 24 jam. Tandanya kemerahan, suhu tinggi, serta bengkak.
Apa saja faktor yang memengaruhi pemulihan kondisi cedera?
Asupan makanan, istirahat, karakteristik tubuh setiap individu, serta tingkat cedera cukup memengaruhi.
Kasus cedera yang memaksa pemain mengakhiri karier sebenarnya dipengaruhi oleh kemampuan mengembalikan kepercayaan diri.
Ada pesan untuk masyarakat agar olahraga tetap mendapat manfaat sekaligus meminimalisasi cedera?
Selama pandemi Covid-19, yang jadi konsentrasi adalah 5M. Padahal, akan lebih lengkap jika 5M plus 1I, yaitu menjaga imun.
Kita tetap bisa menjalankan olahraga di rumah lewat gerakan jumping jacks, yang setara bersepeda atau jogging.
Cara tersebut cukup untuk membakar kalori. Namun, kalau ingin olahraga di luar rumah, sebenarnya tidak ada masalah asal tetap menjalankan protokol kesehatan.
Intensitasnya juga dikurangi mengingat kondisi masih pandemi. *
Baca juga: Pemerintah Masih Dingin Tanggapi Permintaan Perajin Tahu-Tempe (1)