Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tindakan ‘Bantuan Hidup Dasar’ atau BHD tidak hanya harus dimiliki para tenaga medis, tapi juga setiap manusia umumnya.
Penanganan kegawatdaruratan yang lebih cepat akan mengatasi hal lebih fatal.
Hal ini ditegaskan oleh dr. Muslim Tadjuddin Chalid di pelatihan kecakapan 'Penanganan Gawat Darurat di Lingkungan Tempat Tinggal' yang diselenggarakan Satuan Komunitas Pramuka SPN DKI Jakarta secara daring Sabtu (25/9/2021).
Mengambil contoh kasus meninggal mendadak karena serangan jantung (cardiac arrest) atau tersedak.
Baca juga: Gejalanya yang Mirip, Ini Perbedaan Serangan Rasa Panik Berlebihan dan Serangan Jantung
Seringnya masyarakat tidak tahu harus melakukan tindakan pertolongan pertama yang akhirnya berujung kematian.
“Dengan adanya pelatihan ini dapat meredam kasus-kasus kejadian meninggal mendadak atau risiko gagal jantung tersebut,” kata dr.Muslim.
Ia mengatakan serangan jantung butuh penanganan cepat tidak boleh ada delay waktu dalam memberi tindakan karena dapat membahayakan pasien atau korban.
Dan yang paling penting dalam menangani hal tersebut adalah tidak panik.
Seseorang mengalami nyeri angina yang sebenarnya mengalami sumbatan pembuluh darah lalu tidak sadarkan diri.
Baca juga: 8 Manfaat Buah Semangka untuk Kesehatan: Dapat Turunkan Risiko Penyakit Jantung
“Ini adalah timeline henti jantung seseorang, dalam 4-5 menit, otak mulai mengalami kerusakan, dan lebih dari itu sekitar 8-10 menit, oksigen tidak sama sekali masuk,” kata dr.Muslim.
Berdasarkan pedoman CPR & ECC 2020, pertolongan pertama yang dilakukan individu awam hanya sekitar 40 persen dan yang menerapkan Automatic Emergency Device (AED).
Ini berupa defibrillator sebelum kedatangan EMS hanya sekitar 12 persen.
“Seharusnya bisa mencapai seratus persen,” katanya.
Resusitasi Jantung Paru atau RJP sebenarnya adalah peran dari semua orang.
Sebelum memakai defibrillator, setidaknya melakukan penyelamatan awal dengan mencari tempat yang lebih aman untuk merebahkan pasien, lalu mengecek respon sembari mencari bantuan paramedis.
Baca juga: Tentang Riwayat Penyakit Koes Hendratmo, Bonita: Sebelum Kena Covid, Ayah Ada Jantung dan Asma
Selanjutnya, cek sirkulasi nadi karotis dengan dua jari (meraba trakea) geser kanan dan kiri tekan selama lima detik.
Jika tidak terasa, maka harus melakukan RJP/CPR tiga puluh kali kompresi kecepatan 100-120 kali/menit.
Lokasi penekanan atau kompresi (CPR) dr. Muslim pada bagian dada sepertiga bawah sternum.
"Hal ini berguna untuk meresusitasi kerja jantung yang gagal sehingga oksigen bisa tetap mengalir," katanya.
Istilah lainnya adalah airway yakni membuka jalan napas atau udara dan proses hyperventilate atau memakai CRP Barrier (ambu).
Sehingga pasien atau korban selamat dari resiko kematian.
Pada masa pandemi ini, CPR tidak diperbolehkan melakukan proses airway atau hyperventilate, cukup hanya CPR tangan.
"Jangan lupa melindungi diri dengan masker baik penolong maupun korban," kata dr. Muslim.
Sementara jika menangani korban tersedak, dr. Muslim mengatakan penanganannya dengan menepuk punggung (back blow) dan abdominal thrust.
Bila korban tidak mampu batuk lebih kuat dan melakukan tindakan RJP lebih lanjut bila tidak sadar.
"Khusus untuk anak kecil dan bayi, masih boleh melakukan proses airway saat tinfakan penyelamatan," kata dr.Muslim.