Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pratik sunat pada perempuan masih kerap terjadi. Padahal sunat atau khitan pada perempuan tak punya landasan agama maupun kesehatan.
Bahkan dari sisi medis, perempuan yang disunat memiliki risiko paling fatal yakni kematian.
Selain menimbulkan luka fisik, sunat perempuan juga mengakibatkan trauma jangka panjang.
Baca juga: Benarkah Sunat Berpengaruh pada Kepuasan Hubungan Intim ? Begini Penjelasan Medisnya
Baca juga: Janji Nagita pada Penjual Jagung Bakar yang Kabulkan Ngidamnya: Sunatan Anaknya Kita yang Biayain
Hal itu diungkap Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Muhammad Fadli dalam acara Diskusi Publik Membangun Kolaborasi Multipihak untuk Pencegahan Perlukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) di Indonesia yang dilaksanakan secara virtual, Kamis (29/9/2021).
Ia mengatakan, sunat perempuan yang dilakukan pada bagian Klitoris sangat berisiko mengalami pendarahan hebat.
"Di sini banyak sekali pembuluh-pembuluh darah kecil. Risikonya yang paling fatal adalah meninggal apabila pendarahaan tersebut tidak dapat dihentikan dan keluar darah yang sangat banyak," kata dia.
Kemudian, sunat perempuan akan menimbulkan sakit yang berlebihan atau nyeri yang sangat hebat pada tubuh atau syok neugronik.
"Ini bisa juga mengancam nyawa," imbuhnya.
Risiko ketiga adalah infeksi saluran kemih maupun Sepsis atau komplikasi infeksi yang mengancam jiwa
Kemudian risiko keempat adalah risiko jangka panjang yang bisa dirasakan perempuan yakni rasa sakit yang dirasakan saat berhubungan intim atau buang air kecil.
"Ada beberapa luka yang muncul dari permukaan kulit sehingga kalau ditekan itu sakit yang terjadi dan terbentuk di daerah bagian genital. Bayangkan setiap pipis dia sakit,setiap berhubungan sakit juga tidak hanya sekarang saja efek sampingnya akan dirasakan tapi jangka panjang," ungkap dr Fadli.
Ia menjelaskan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mengeluarkan pernyataan bahwa sunat pada perempuan tidak memiliki keuntungan dari sisi kesehatan.
"Sama halnya dengan IDI, Perhimpunan Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, Ikatan Dokter Anak, Ikatan Bidan Indonesia, perawat, maupun tenaga medis lainnya juga menyatakan sunat pada perempuan tidak memiliki keuntungan dan tidak ada kurikulum sunat perempuan dalam pendidikan mereka,” ujar Fadil.