Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan harus direvisi.
Pasalnya PP tersebut belum cukup efektif menurunkan perokok anak.
PP 109/2012 dipandang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Ditambah semakin maraknya iklan, promosi, dan sponsor produk rokok di berbagai media.
Belum lagi pengaturan mengenai bentuk-bentuk rokok lain seperti rokok elektrik belum diatur dalam PP 109/2012.
Saat ini, penjualan rokok masih terus meningkat. Begitu pula dengan jumlah konsumsi rokok, dan perokok anak. Akibatnya, kematian akibat merokok pun kian meningkat.
Baca juga: Kebijakan Batasan Produksi Rokok Ideal Bisa Optimalkan Penerimaan Negara
Penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang.
Konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3% di tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah jumlah perokok anak ikut meningkat.
Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Prevalensi perokok anak terus naik setiap tahunnya, pada 2013 prevalensi perokok anak mencapai 7,20%, kemudian naik menjadi 8,80% tahun 2016, 9,10% tahun 2018, 10,70% tahun 2019. Jika tidak dikendalikan, prevalensi perokok anak akan meningkat hingga 16% di tahun 2030.
Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono mengatakan tingginya prevalensi perokok pemula akan menghasilkan generasi muda yang tidak unggul.
''Perlu adanya penyempurnaan perlindungan terhadap generasi muda dan anak-anak dari bahaya merokok,'' tegasnya dalam keterangan resmi, Minggu (31/7/2022).
Berdasarkan estimasi dari Bappenas, peningkatan prevalensi perokok pemula khususnya anak-anak dan usia remaja akan terus mengalami kenaikan. Jika, tidak ada kebijakan komprehensif untuk menekan angka prevalensi.
Di Indonesia saat ini, kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada tahun 2015, dengan total kerugian makro mencapai Rp. 596,61 triliun.
Tembakau telah membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular.
Perubahan PP 109/2012 perlu diatur di antaranya mencakup ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok diperbesar. Penggunaan rokok elektrik diatur, iklan, promosi, sponsorship diperketat, penjualan rokok batangan dilarang, dan pengawasan ditingkatkan.